Tangan-tangan yang Menggenggam Kehidupan
Oleh: Ayra Izzana R
Terik matahari siang itu sangat menyengat. Panasnya membuat
ubun-ubun serasa berasap. Mata tua yang hampir rabun itu menatap jalanan dengan
nanar. Sesekali ia menyeka keringat di wajahnya yang bercampur dengan lelehan
air matanya. Bukan air mata karena ia menangis, tapi karena mata yang tak kuat
menerima pantulan sinar matahari yang begitu kuat. Tubuh bungkuknya
terseok-seok menggendong sebongkok kayu rencek
yang ia dapat dari hutan yang cukup jauh dari rumahnya. Kedua tangannya
begitu erat memegang selendang gendongnya yang ia ikat di depan dada agar
kayu-kayu di punggungnya tidak jatuh.
Matahari hampir menghuni tengah langit. Matanya sesekali
mendongak ke atas dan rasa silau yang ia dapatkan membuat matanya semakin perih
dan berlelehan air yang terus-menerus keluar dari matanya. Mulutnya yang
kemerah-merahan karena daun sirih dan gambir yang ia kunyah disepanjang jalan.
Topi buyuk yang ia pakai sudah hampir
jebrak karena anyaman bambunya sudah
renggang dan hampir terlepas. Topi itu sesekali jatuh ke belakang dengan ikat
tali yang mencekik lehernya karena tertiup angin. Berkali-kali pula ia
membenarkan letak topinya itu.
Siang pun merangkak tepat di atas kepala. Nenek setengah bungkuk
itu sangat tergesa melangkahkan kaki yang berjari melebar itu. Tertatih-tatih
menuju rumahnya yang terpencil di seberang desa. Dari kejauhan ia melihat seorang
gadis kecil yang sedang menunggu di depan pintu rumah yang berdinding anyaman
bambu. Gadis itu duduk sambil memeluk ke dua lututnya. Dengan rambut sebahu
terurai berantakan. Memakai kaos singlet yang kedodoran menampakkan kedua
lengannya yang kurus. Melihat itu nenek bungkuk itu semakin mempercepat
langkahnya. Setelah dekat gadis kecil itu terhenyak dan berdiri menyambut
neneknya yang sedari tadi ia tunggu kepulangannya.
“Aku sudah lapar, Nek...”
Kata gadis kecil itu begitu melihat neneknya sudah tiba di
rumah. Sang nenek hanya tersenyum getir sambil menurunkan gendongannya seraya
berkata:
“Tunggu kayu rencek ini
laku dulu ya nduuk... sabar ya nanti
nenek masak nasi untukmu”
Gadis itu berpendar bahagia mendengar jawaban itu. Begitu
terus setiap harinya. Ia menunggu neneknya kembali pulang membawa beras hingga ia tertidur. Dalam tidurnya ia selalu
bermimpi sederhana. Sepiring nasi dengan lauknya.
****
Malam-malam saat musim kemarau yang sangat dingin dengan
siang yang begitu terik membakar ubun-ubun. Aini, gadis kecil delapan tahun
yang yatim piatu itu meringkuk kedinginan dengan selendang lusuh yang menutupi
seluruh tubuhnya. Tangannya ia silangkan dan ia sembunyikan ke dalam kedua
ketiaknya. Ia masih saja merasakan dingin. Sedikit nasi yang mengganjal
perutnya sore itu membuat perutnya masih kemurucuk dan kembang kempis menahan
dinginnya malam itu.
“Rapatkan kakimu nduuk biar terasa lebih hangat....” ujar Neneknya
sambil mengurut-urut kedua kakinya yang kering dengan air hangat agar rasa
pegalnya sedikit berkurang. Aini hanya sedikit menggeliat kian meringkuk.
“Sulit untuk menjual kayu-kayu rencek itu nduk.. orang-orang
disini hanya sedikit yang membutuhkan kayu-kayu itu” gumam sang nenek.
Mengingat ia hanya dapat menukar kayunya dengan beras setengah plastik siang
tadi. Aini hanya mendengar saja dibalik selimut selendangnya. Ia meraba-raba
perutnya yang masih kempis.
Hembusan angin yang menerobos dari celah-celah dinding bambu
membuat Aini semakin bergetar. Selendang itu tak cukup mampu menghangatkan
tubuhnya. Tiba-tiba tubuhnya berkeringat dingin dan merasakan ada bagian
tubuhnya yang menggelembung. Ia meraba perutnya yang terasa nyeri melilit.
Keringat dingin merembes dari wajahnya yang hanya menyerumbul di balik selimut
selendangnya. Aini merasa ada yang turun naik dari kerongkongannya. Ia menelan
air ludah berkali-kali agar nasi dalam perutnya tak keluar. Ya.. ia berasa
ingin muntah.
“Neek...”panggilnya lirih menahan hasrat muntah. Mendengar
itu sang nenek mendekat.
“Neek... aku sangat kedinginan” katanya terbata-bata menahan
tangis. Isi dalam perutnya terasa seperti aduk-aduk. Sang nenek meraba
tengkuknya dan terasa berkeringat dingin. Ia memijit pelan dan...
“Hoeeeeekkkk....”
Nasi sore tadi terhambur keluar. Aini tiba-tiba menangis.
Menangisi jerih payah neneknya yang mencari segenggam bakal nasi. Kini terburai
menjijikkan di samping dipan tuanya. Aini menatap nanar.
“Kamu masuk angin nduuk” ucapnya pelan penuh kekhawatiran. Ia rapatkan
selendang yang menyelimuti tubuh mungil Aini. Aini masih menggigil. Mulutnya
beberapa kali terbuka dan terkatup menahan. Isi dalam perutnya semakin
memberontak. Beberapa kali pula benteng pertahanan Aini jebol. Perutnya
terkuras habis dan ia terkulai lemas. Nenek tua itu semakin panik. Ia terus
menggosok perut cucunya yang makin lengket berharap sentuhan tangannya yang
kasar bisa sedikit menghangatkannya. Aini meringkuk menyembunyikan kedua
tangannya dibawah ketiak lagi. Keringatnya deras mengucur. Nenek berusaha
mencari-cari apapun yang bisa menghangatkan tubuh cucunya itu tapi tak kunjung
ia menemukan sesuatu kecuali lembaran kain lusuh yang ia tumpuk untuk
menyelimuti Aini.
Aini merintih, nafasnya tersengal. Ia menggenggam erat tangan
nenenknya sambil menangis tertahan. Neneknya mengusap peluhnya dan
memijit-mijit tengkuknya. Muntah Aini semakin menjadi-jadi. Tak ada apapun yang
bisa menghangatkan tubuh Aini selain selendang lusuh itu. Orang tua yang
wajahnya sudah mengeriput itu memandang tubuh kecil Aini dengan nelangsa.
Kenapa
hanya sekedar minyak angin saja aku tak punya?
Ada yang melintas di pikirannya. Ia segera bergegas dan
merapatkan selimut Aini lalu menutupnya dengan bantal.
****
Jalanan sunyi. Nenek Aini menyusuri jalan sambil sesekali
menoleh barangkali ada toko yang masih buka. Malam serasa merangkak dengan
cepat. Rasa lelah yang masih menggelayuti tubuhnya membuat langkahnya sedikit pincang. Sampai di
ujung jalan dekat jembatan ia melihat pendar lampu pemilik sebuah toko masih
terang. Itu tandanya toko masih buka dan sebentar lagi mungkin akan ditutup. Ia
semakin mempercepat langkahnya yang terbungkuk-bungkuk. Tangan kanannya
menopang pada lutut kanannya pula untuk menjaga keseimbangan tubuhnya agar
melangkah lebih cepat.
Sesampai di depan toko tak ada siapapun. Ia begitu sangat
tergesa. Memanggil-manggil pemilik toko dengan suara serak dan tenggelam.
Berharap pemilik toko itu bersedia memberikannya sebotol kecil minyak angin
untuk cucunya. Dan akan ia ganti dengan kayu-kayunya keesokan harinya. Tak ada
jawaban apapun dari dalam. Ia semakin cemas. Bayang-bayang Aini tergeletak
lemas menambah kecemasannya.
Sebotol kecil minyak angin di balik lemari kaca sangat
mempesona matanya. Ingin ia segera mengambil dan melaburkan ke seluruh tubuh
Aini. Tapi pemilik toko tak kunjung tiba. Nenek Aini meringsek mendekati lemari
kaca yang sedikit terbuka itu. Ia menengok ke arah jembatan dekat toko yang
banyak orang masih bercanda ria. Entah apa yang dibicarakan hingga membuat tawa
mereka meledak-ledak. Otak tua milik nenek itu berpikir kenapa orang-orang itu
tak memperhatikan dirinya yang mondar-mandir cemas menungu pemilik toko.
Setidaknya membantunya untuk memanggil pemilik toko. Batinnya tak kuat menahan
gelora rintihan Aini yang terdengar sesak di telinganya. Ia meraih sebotol kecil
minyak angin itu dan berjanji dalam hati akan menggantinya esok hari. Tapi
tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dari dalam terkejut dan dengan spontan
berteriak:
“Maling... maling”
Mendengar itu nenek Aini merinding. Lututnya bergetar.
Aku
bukan maling
Minyak angin itu masih tergenggam di tangan. Ia berbalik
keluar dan mempercepat langkahnya. Pemilik toko semakin histeris dan
memperkeras suaranya berteriak "maling" ke
arahnya. Serentak para penghuni jembatan turun dan mengalihkan pandangan ke
arah tangan pemilik toko yang menuding kepadanya.
Nenek Aini tertatih-tatih
mempercepat langkahnya. Segenggam kehidupan milik Aini ada pada botol kecil yang ia
pegang erat dengan tangan yang basah oleh keringat. Nafasnya terengah-engah.
Langkah kakinya kalah cepat dengan orang-orang yang mengejarnya sembari tak henti mengepalkan tangan itu.
Bughhh!!
Nenek Aini terjungkal. Tubuhnya menghantam jalanan beraspal. Ada tangan-tangan yang mulai mendarat di tubuh rentanya. Ia berteriak dengan sisa tenaganya agar pemilik tangan-tangan itu berhenti menghakiminya.
“Aku bukan maling,” suaranya mencoba memecah keributan.
Tapi sia-sia. Tangan-tangan itu tak kunjung berhenti mengayun.
Tapi sia-sia. Tangan-tangan itu tak kunjung berhenti mengayun.
“Aku hanya mengambil botol kecil ini dan akan kuganti,”
suaranya mulai terbata-bata
diselingi isak tangis.
Tangan-tangan itu masih terus
mendarat pada tubuh renta Nenek Aini. Mungkin pemilik tangan-tangan itu sudah buta dan tuli.
“Cucuku butuh ini untuk menghangatkan tubuhnya. Sedangkan aku tak punya uang sepeser pun. Aku bukan maling.”
Barangkali hanya angin malam yang mampu
mendengar jerit suara Nenek Aini yang semakin melemah itu. Pandangan matanya jadi kabur dan gelap. Perlahab genggaman tangannya terlepas dan botol
kecil berisi minyak angin itu terkulai jatuh di tanah.
****
Bangilan, 31 Maret 2017
Anggota Komunitas Kali Kening
credit foto: pinterest.com

Tidak ada komentar