Puisi-Puisi Hartono Imam Machmudi
Oleh
: Hartono Imam Machmudi
KENANGAN
Kecilku
melambangkan permulaan hidupku
Menyertaiku
dengan tangis tawa
Merenangi
fase-fase penyesuaian
Tanganku terasa
melambai-lambai
Meraba bukti
keaslian hidupku
Tiba saatnya aku
menginjak remaja
Detik-detik
kecilku kian terhapus
Tinggal sebagian
kenangan kelucuanku
Yang semakin
lama semakin pupus
Masa dewasaku
mulai terbit
Membungkam
kebebasan remajaku
Hadir
tanggungjawab dari benakku
Membangun
kebahagiaan keluarga baruku
Kini masa tuaku
mulai muncul
Cahaya
kehidupanku mulai redup
Seperti geraknya
sang surya
Merayap menuju
singgasana keabadian
Tinggal suasana
kenangan perjalananku
Yang menghiasi
hari-hari terakhirku
Merasakan
keadaan yang menyedihkan
Menunggu
hari-hari kematianku
KAKI GUNUNG
Desaku...
Kaki
Gunungku...
Panoramanya
membius sanubari
Desir angin
yang bercanda dengan pepohonan
Megahnya
gunung-gemunung mengakar
Dengan udara
yang semakin dingin
Dalam diam
aku bersiul sedih
Menganggap
laut tumpah
Menghujani
liang udara desa ini
Aduh...
Mulai
kepergok irama hujan
Gunung mulai
tertutup kabut
Pohon mulai
basah kuyup
Apalagi
udara semakin dingin
Se dingin
salju di puncak himalaya
Sssst...
Sang petir menyentak-nyentak
Dengan
gaungannya yang keras
Akupun
mengangguk-angguk
Sudahlah...
Hanya
lamunan sesaat.
BERANI MELAWAN
ARUS
Derita
manusiawi yang tak pernah padam
Kedangkalan terus menempel pada pola pikir
Terus membelai mesra kedamaian murni
Yang memblokir arahan arus tenang,
Di sepanjang aliran sungai pemikiran.
Ribut....
Rebut...
Semrawut....
Entah apa lagi...
Entah kapan lagi akan padam...
Mereka terus berulah dan rebutan
Mewarnai drama dunia manusia
Menetap kuat namun jalan di tempat
Serasa terjadi kebobrokan masal
Yang rata dan membahana sepanjang hayat
Tapi tak seperti halnya mereka
Kami penggiat sastra pantang untuk diam
Terus bergerak seirama nyanyian syahdu
Berani berulah dengan tulisan
Berani beradu melawan arus zaman edan
Bangkit meniup seruling bernada positif
Berbekal naluri dan kekukuhan jiwa raga
Demi generasi muda dan pendahulu kami
Eyang Pram yang kami rindukan
Restui kami dengan energi semangatmu
Energi keberanian melawan arus negatif
Dalam fajar dan senja
Mengalir jingga sepanjang masa
Kedangkalan terus menempel pada pola pikir
Terus membelai mesra kedamaian murni
Yang memblokir arahan arus tenang,
Di sepanjang aliran sungai pemikiran.
Ribut....
Rebut...
Semrawut....
Entah apa lagi...
Entah kapan lagi akan padam...
Mereka terus berulah dan rebutan
Mewarnai drama dunia manusia
Menetap kuat namun jalan di tempat
Serasa terjadi kebobrokan masal
Yang rata dan membahana sepanjang hayat
Tapi tak seperti halnya mereka
Kami penggiat sastra pantang untuk diam
Terus bergerak seirama nyanyian syahdu
Berani berulah dengan tulisan
Berani beradu melawan arus zaman edan
Bangkit meniup seruling bernada positif
Berbekal naluri dan kekukuhan jiwa raga
Demi generasi muda dan pendahulu kami
Eyang Pram yang kami rindukan
Restui kami dengan energi semangatmu
Energi keberanian melawan arus negatif
Dalam fajar dan senja
Mengalir jingga sepanjang masa
RENUNGAN KOTA LEGEN
Elok warna
indah nan menawan
Lambang
keaslian kota kenangan
Merajut asa
dalam lembaran
Sampai ujung
mata rantai kepulauan
Pantai putih
negri bahari
Di atas
pasir ini daku berlari
Menyambut
sejuk bumi keabadian
Kota legen
tanah rayuan
Wahai Bumi
Pesisirku...
Sejak lama
kami termenung syahdu
Melihat
keindahanmu mulai usang
Digaruk
proyek serdadu kawasan
Wahai Kota
Legenku...
Surga
duniamu mulai kalang kabut
Semakin
semrawut carut marut
Dalam buai
pembangunan bergelayut
Serasa
bersaing laksana kerajaan semut
Wahai Tanah
Siwalanku...
Hiruk pikuk
kebisingan kian tumbuh subur
Menyambar
dermaga suci kemilaumu
Melambai
keras bak peperangan berlumpur
Berlomba
menjajaki dentuman keras nalurimu
Wahai Surga
Duniaku...
Majulah
bersama generasi pilihanmu
Yang siap
sedia nan ikhlas berkarya
Tanpa badai
kerakusan yang melukaimu
Di atas
dawai mesra bumi pusaka
WAJAH KALI KENINGKU
Oh... Kali
Keningku
Hamparan
semak menyapa wajahmu
Lenguhan
biri-biri menyenggut rerumputan kecil
Di tepian
pasir putihmu
Oh... Kali
Keningku
Walau tak
sehijau dulu
Rerumputan
tak pernah lelah menemani hari-harimu
Bergoyang
seirama bersama angin lalu
Oh... Kali
Keningku
Pasir-pasirmu
semakin habis
Dibantai
sekumpulan penambang masa kini
Demi
lembaran uang kertas
Yang
melayang-layang datang menghantui
Oh... Kali
Keningku
Kini banyak
sekali bencana karenamu
Makhluk
hidup tenggelam bergantian
Di setiap
kilometer panjangmu
Oh... Kali
Keningku
Maafkan daku
sobat
Wajahmu tak
secerah dulu
Aliranmu tak
se-tenang masa lalu
oh... kali
keningku
oh... kali
keningku
oh... kali
keningku
SANG
MELAYU
Tanda fajar mulai terbentang luas
Jutaan suasana tampak berkedip bersautan
Bak permata yang gemerlapan menghiasi
langit
Dari
ufuk barat laut terlihat terang
Tanah
melayu semakin mendayu-dayu
Seraya
berpesan dengan teka-tekinya nan sayu
Melayu raya hendak hilang dengan serba
ranjau
Seribu tunas amanat yang ikut serta
mengembang
Bagai ribuan risau puting beliung nan
robohkan semak
Alangkah
bahtera ini tau akan adanya filosofi
Yang
pernah hinggap bersama palung lautan asri
Dengan
raupan canda putra-putri peradaban ini
LUKISAN
KAIN
Kedipan
mataku terus menatap
Kain
putih tak bernyawa
Meluap-luap...
Seperti ingin bangkit
Meretas naluri sang pelukis
Seolah rindu akan karya
Lukisan kain nan indah dan menawan
Serasa
tak sanggup ku teruskan
Lukisan
tinta emas dahulu kala
Mungkin...
Daku terlalu hanyut dalam hiperbola
kebijakan
Yang semakin buta total
Atas karya anak bangsa
SENJATA YANG
AMPUH ?
Aku
termenung sejenak
Menghayati
setiap refleksi pikiran
Aku
ikut aliran akal yang semakin merajalela
Membuat
ilusiku semakin membeku
Laksana
kumparan es di musim dingin
Aku
bertanya-tanya...
Senja
itu apa ?
Apakah
hanya senja yang ampuh...
Senja
atau senjata ?
Mungkin
ini hanya sebuah teka-teki
Tik...tik...tik...tik...tik...
Karena
setiap senja yang membuatku berbunga-bunga
Karena
setiap senyuman mereka,
Yang
membuat hati ini tenang
Se-tenang
batu di pinggiran sungai kening
Yang
semakin menguning kecoklatan
Yang
terpenting senja adalah senjata
Senjata
para pengobar jiwa
Senjata
para pengobat rindu
Dalam
kumpulan karya dramatis
Membelai
mesra menyambut malam
Yang
damai penuh makna
Senja...
oh senja
Senja
ta yang ampuh ?
Iya...
Senja
yang ampuh.
PASIR PUTIH
Belasan tahun
silam ku teringat
Pemandangan
pasir putih sungaiku
Terbentang luas
di pinggirannya
Bak pasir pantai
yang gemulai
Berbinar dan
berseri-seri
Pasir putih yang
indah menawan
Menyinggung
kalbuku sepanjang jalan
Menenangkanku
ketika gundah melanda
Sesaat aku
teringat
Masa kecilku di
tepiannya
Berlarian di
pinggir sungai itu
Bersama sepupuku
yang lucu
Senda gurau
menyambungkanku
Pada nyanyian
lugu mendayu-dayu
Sambil menikmati
wahana alam
Milik Tuhanku...
Untukku...
Dan teman
se-alamku
AKU
DAN DIA
Aku hanya seorang penyair
Gemar melenggok kata-kata semesta
Demi membentuk bait istimewa
Sedangkan dia berbeda
Dia adalah putri raja
Bertahta dan berwibawa
Setiap hari dikawal punggawa
Tak pantas aku bermimpi jua
Melabuhkan perasaan padanya
Seorang putri kerajaan pelangi
Yang mewah dan bersinar
Mungkin hayalan tak sesempit itu
Mungkin saja benar
Mungkin juga bualan kosong
Mengertilah...
Jika Tuhan menakdirkan insan
Semua pasti akan terlaksana
Menepis jarak antara kita
Tanpa tahta dan harta
Tidak ada komentar