Header Ads

Header ADS

Menyeduh Batik



Oleh: Ilalang

Silir-silir angin bergelayut manja menghantam  daun-daun hingga jatuh berdebam. Siutnya berganti membelai lembut rambutku yang hitam legam. Kemudian ku dongakkan kepala ke atas. Matahari tepat diatas ubun-ubun.
“Sudah waktunya istirahat, makan siang dan sholat dhuhur” gumamku di dalam hati. Ku bereskan wajan kecil dan canting yang kotor oleh malam bekas aku membatik.
            Seseorang tiba-tiba memanggilku dengan suara khasnya,
“Kemuning, mangan ndisik nduk”
“Nggih buk. Niki nembe mberesi wajan mbatik”
            Selesai beberes ku larikan kaki ku menuju meja makan. Namun ku hentikan derap langkah ketika aku melewati cermin kuno dan usang di ruangan tengah. Cermin berbingkai ukiran dengan huruf jawa hanacaraka yang dimodifikasi. Sungguh ini benda kuno yang antik. Cermin kenang-kenangan dari Pak Dhe Dharmo, kakak ibu yang tinggal di Jepara.
            Pada Cermin aku melihat seraut wajah mungil, dengan sepasang mata bulat besar dan hidung yang tidak terlalu mancung, serta senyum manis gigi gingsul yang mewarisi senyuman ibuku.
            Aku perempuan desa yang lahir di Kerek, sebuah desa kecil di kabupaten Tuban-Pesisir Jawa Timur. Lahir ditengah keluarga pejuang kesenian batik gedog. Satu hal yang selalu ku syukuri pada Tuhan di setiap harinya adalah terlahir pada arena kehidupan yang gemah ripah nan tentram karena warganya mendewakan kesederhanaan.
            Aku gadis belia berusia seperti usia ketika Kartini sedang menulis  buku habis gelap terbitlah terang. Dan hanya lulusan SD. Orang tuaku sebenarnya mampu menyekolahkan aku jika aku mau. Tapi aku menolak. Aku tak pernah suka pendidikan formal. Bagiku, enam tahun mengecap pendidikan formal sudahlah cukup. Selebihnya aku belajar apapun dari segala yang aku amati, aku rasakan, aku dengarkan, aku baca sendiri tanpa harus melanjutkan ke jenjang formal SMP, SMA bahkan Kuliah.
            “Bapak..Ibuk..Kulo niki pengen mbatik, mboten pengen dados guru, dokter, insinyur” kataku kala itu ketika Bapak akan memasukkan ku ke SMP. Beruntung aku memiliki orang tua yang sangat demokratis. Orangtua tak pernah menuntut aku harus menjadi apa, selama aku bahagia mereka akan selalu mendukung.
            Lamunanku ambyar. Ketika bahu kananku ditepuk perempuan paruh baya berkulit kuning langsat.
“Tasih manis nduk..tasih ayu…wes saiki ndang mangan ben tambah ayu”
Suara merdu ibu bernada menggodaku. Pipiku bersemu merah. Menahan malu, kepergok ibu sedang senyum-senyum sendiri mematut cermin.
Di meja makan ibu mengajakku berbicara santai.
“Nduk.. Bupati Huda beserta pejabat lain dan ajudanne bade ngunjungi kampung kita. Pak lurah pengen setiap kepala keluarga di kampung ini memamerkan karya terbaiknya. Supoyo citra kampung kita makin tinggi sebagai kampung Batik. Kamu punya waktu seminggu membuat  karya terbaikmu untuk dipamerkan kepada beliau-beliau itu.”
Seketika mataku yang sudah bulat makin membulat. Ini kesempatan emas, pikirku. Aku harus menunjukkan pada dunia bahwa membatik adalah pasionku. Membatik adalah kesenangan yang aku puja-puja.
Selesai makan langkahku tak bisa gontai. Bergegas ku tata lagi pirantiku membatik. Mulai ku gores perlahan. Guratan demi guratan. Ku racik warna berdasarkan imajinasiku. Aku sungguh menikmati ini.
********************
Tiga hari berlalu. Proyek terbesarku hampir rampung. Aku terkesima sendiri melihat hasil tarian tanganku pada selembar kain halus ini.
Saat asyik memperhatikan liuk-liuk garis yang sudah ku hasilkan, tiba-tiba Gendis tetangga sebelah rumahku menghampiri. Beberapa detik ia terlihat memperhatikan dengan serius hamparan kain motif di depannya itu.
“Mbatikmu apik tenan, Kemuning. Tapi alangkah baiknya kalau warna motif pitik alas e kui warnanya jangan terlalu gelap. Pilih warna yang lebih cerah pasti lebih bagus”
Mendengar batikku di beri masukan, aku senyum-senyum sambil menganggukkan kepala. Sepulang Gendis, aku memperbaiki warnanya, mencelupkan lagi kain batik pada pewarna yang lebih kuat warnanya, warna warna cerah.
Aku menyandarkan kepala pada kursi tua. Beristirahat dari kesibukanku meracik warna. Pak Dhe Harto yang juga tetanggaku mendekat. Mengawasi dengan mata melotot batik yang sudah ku ukir mesra pada selembar kain putih.
“Motifnya terlalu sepi, kurang menarik. Coba kamu tambahkan beberapa lengkungan garis pada sela-sela bidang yang kosong” Katanya memberiku masukan. Aku menelaah apa yang disarankan Pak Dhe Harto, memeperhatikan batikku, lalu membenarkan argumennya.
Dan begitu seterusnya, ada tiga masukan lagi yang diajukan kepadaku. Tanpa pikir panjang aku selalu menelan mentah-mentah saran mereka dan segera mebetulkan karyaku sesuai saran mereka.
Namun ketika tiba H-3 pameran akan diadakan, aku mendadak kaget. Pipiku panas serasa habis dihantam benda keras, setelah melihat kain batik hasil karyaku. Sungguh diluar perkiraan. Kain batikku, hancur. Motifnya berantakan. Garis-garis dan warnanya tidak menciptakan harmoni yang selaras. Seketika aliran darahku terasa beku. Ini adalah pertama kalinya aku menghasilkan kain batik yang sangat mengganggu visualisasi siapapun yang memandangnya. Semangatku kemudian meranggas. Ingin ku urungkan niatku mengikuti pameran batik.
Ketika tiba-tiba datang Gesang, sahabatku dari kecil. Seorang barista handal yang punya jam terbang tinggi. Entah dengan alasan apa tiba-tiba ia menyapaku. Seakan mengerti kegelisahanku.
“Kamu kenapa? Murung sekali wajahmu. Padahal langit tidak sedang mendung”
Aku terdiam. Tidak menjawab. Gesang bingung, sorotan matanya menyapu seluruh ruangan. Dan tiba-tiba mulutnya menganga melihat selembar kain di depanku.
“Oh.. kenapa ini bisa terjadi? Kemuning yang selama ini ku kenal sebagai gadis yang memiliki tangan ajaib yang selalu menghasilkan kain batik yang mempesona, tiba-tiba seperti kehilangan kemahirannya?”
“Awalnya aku terlalu terobsesi menjadikan kain batikku menjadi kain terbaik di pameran yang akan diadakan Bupati nanti. Aku melukisnya degan semangat. Aku sudah mendengarkan saran orang-orang dan selalu langsung memperbaiki sesuai saran mereka tanpa pikir panjang”
“Kamu tahu? Itulah kesalahanmu. Mendengar tanpa menimbang. Orang-orang tidak pernah tahu apa yang kamu rasakan, tidak pernah peduli perasaan magis yang terikat antara kamu dan setiap garis-garis yang kamu hasilkan. Mereka asal berbicara, dan kamu asal menerima. Ya begitu jadinya.”
“Hmmm..aku hanya berpikir, semua saran adalah baik untukku”
“Kamu ubah pemikiranmu itu mulai sekarang. Tidak semua orang mengenal kita, tidak semua orang tahu karakter kita. Tidak semua yang mereka omongkan, bermaksud membuat kita lebih baik. Siapa tahu beberapa dari mereka memang ada yang berniat menjatuhkanmu. Mendengar, kemudian menimbang. Itu yang benar”
Terus..aku kudu piye..Sang? Pameran telung dino maneh.” Kataku hamper memekik panik.
“Oke..tenang. Masih ada waktu tiga hari. Coba kau bersahabat dengan malam. Goreskan cantingmu, nanti malam. Ketika yang ramai adalah suara jangkrik. Bukan suara gaduh manusia yang dengki”
“Hahaha…kau macam penyair saja”. Senyumku mulai menyeringai. Aku bersyukur memiliki seseorang sepertinya.
“Kamu harus dalam perasaan bahagia ketika menyeduh garis-garismu pada kain. Suasana hati sangat berpengaruh pada hasil dari apa pun yang kita kerjakan, termasuk membuat secangkir kopi,dan membuat batik. Yang penting percaya diri. Aku percaya dengan indera perasaku, kamu harus percaya dengan indera keenammu, alias imajinasimu.Hehehe..”
“Lalu..?” aku semakin penasaran dengan wejangan-wejangan yang terasa nikmat mengalun di telingaku.
“Kamu harus tahu, Ketika hati kita bahagia, maka energi kebahagiaan yang muncul akan ikut mengalir melalui saraf jemari kita menuju ke apa pun yang kita sentuh atau pegang. Seperti aliran listrik yang menyalur ke benda konduktor.  Itu sebabnya pula, sentuhan ibu yang sedang senang akan dirasakan berbeda oleh bayinya dengan ketika si ibu sedang marah.” ujarnya panjang lebar. Aku hanya manggut-manggut mencerna dengan baik apa yang dikatakannya.
  ****************
Pukul 23:00.. Aku sengaja bangun. Niat membatik sudah di pangkal kepala. Aku mencoba bersahabat dengan malam. Seperti yang Gesang katakan kepadaku.
“Bismillah…” Ucapku sambil menutup mata. Ketika gelap, dalam kelopak mataku justru muncul bayangan cermin berbingkai ukiran dengan modifikasi huruf jawa hanacaraka yang digantung di ruang tengah. Ah..otakku seperti tiba-tiba diserbu seribu kunang-kunang. Terang benderang.
Mulai ku seduh cantingku pada kain. Ku hilangkan semua obsesi menjadi yang terbaik di pameran itu. Ku nikmati segala prosesnya dengan paduan lantunan suara jangkrik-jangkrik yang menemani senyapku.
************
Ini adalah hari H. Dimana pameran kain batik sedang dilangsungkan. Bapak Bupati menepati janjinya. Beliau datang dengan dikawal beberapa ajudannya.
Kabar bahwa Bapak Bupati mengagumi hasil karyaku sudah tersebar pada seantero desa. Bapak bupati akan membeli dan menjahit hasil karyaku menjadi kemeja kerjanya.
Aku tersenyum puas. Aku memperjuangkan hasil karyaku melalui lisan beberapa jam sebelumya, ketika tiba-tiba Pak Bupati mendekatiku dan menanyakan apa maksud dari motif batik yang aku hasilkan.
“Waahhh….ini unik sekali. Kamu memadukan tulisan huruf aksara jawa pada motif kain batikmu. Belum ada yang seperti ini sebelumnya. Apa yang kamu pikirkan ketika membuatnya?”
“ Saya hanya harus sedang berbahagia ketika menyeduhnya, Pak. Dan kemudian ide itu tiba-tiba muncul. Ide yang akhirnya membuat saya banyak belajar memahami arti filosofi pada aksara hanacaraka
“Jadi apa makna filosofinya?”
“Saya membuat motif dengan inspirasi barisan pertama dalam aksara jawa ha-na-ca-ra-ka di goresan pertama kain batik saya. Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia (sebagai ciptaan). Saya menggambar hurufnya dengan garis-garis tegas,lurus, tak terputus. Tanda bahwa kita sebagai ciptaaan harus selalu tegas perihal ketaatan kepada Tuhan, berjalan lurus pada jalan kebenaran tanpa putus”
“Kemudian..???” Pak Bupati membelalakkan mata. Raut penasarannya sangatlah kentara.
“Motif huruf Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data saatnya (dipanggil) tidak boleh sawala mengelak  manusia (dengan segala atributnya) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak dan kuasa Tuhan. Pada motif huruf ini, saya berikan warna-warna gelap,aksentuasi hitam yang menggambarkan kematian, dan warna dasar biru. Biru menggambarkan langit dan kemegahan. Dengan maksud menceritakan tentang kemegahan Tuhan dengan segala kuasanya terhadap manusia”
Terlihat senyum tipis Pak Bupati mendengarkan penjelasanku sambil mengangguk-angguk. Matanya sama sekali tak bisa lepas dari selembar kain di hadapannya. Dan aku meneruskan mendongeng.
“Motif huruf Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Ilahi) dengan yang diberi hidup (makhluk). Maksdunya padha  sama  atau sesuai, jumbuh, cocok  tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu menang, unggul  sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan sekedar menang  atau menang tidak sportif. Menyeduhnya pada kain dengan dominasi warna putih. Dengan maksud menjelaskan, bahwa putih menunjukkan nurani batin kita yang harus selalu bersih, sungguh-sungguh, bukan menang-menangan sekedar menang dalam menggapai Ridho-Nya”
Hmmm… motif terkhir? Apa penjelasannya?” Tanya beliau yang masih saja tertarik mendengar ocehanku.
“Motif terakhir, Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya. Mencoba menyajikannya makna filosofisnya pada motif garis lembut melengkung, fleksibel, yang artinya kepasrahan manusia terhadap takdir yang telah ditetapkan-Nya”. Aku menyelesaikan penjelasan dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang.
“Luar biasaaa…jadi harapan kamu menghasilkan batik ini, adalah menyalurkan semua nilai filosofis yang ada pada kain batik kepada pemakainya nanti?”
“Tepat sekali, Pak.. dan supaya energi  positifnya pun tersampaikan pada si pemakai”
“Istimewa. Kalau begitu, kain batikmu supaya jadi bahan kemeja kerja saya saja. Agar energi positifnya, selalu mengalir pada tubuh saya, mengingatkan saya pada hakikat saya sebagai manusia yang harus memimpin kota kecil ini dengan penuh ketaatan kepada Tuhan. Kamu, sungguh aset berharga yang dimiliki kota ini, nduk. Sekolah dimana?”
“ Cukup sekolah di padepokan rumah Ibu bapak saya, Pak. dengan nasihat beliau sebagai sumber ilmunya” jawabku malu-malu.
Bapak Bupati sempat sedikit kaget, kemudian tertawa terbahak, diiringi suara tawa ajudan-ajudannya. Aku pun hanya bisa nyengir kuda. Bahagia. Sungguh bagiku, ini kabar terbaik selama aku menjadi pekerja seni.

Ilalang lahir di Tuban, anggota komunitas Kali Kening penulis, buku puisi tunggalnya “Kuncup Ilalang” akan segera terbit.



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.