Header Ads

Header ADS

Purnama Tak Muncul di Bulan Muda


Oleh: Adib Riyanto

Desember yang renta. Langit sedang senang-senangnya menangis sepanjang hari, dari pagi buta hingga senja ditelan gulita. Gigil udara yang menampar-nampar wajah lelahnya petang itu membuat Ismail memeluk dirinya sendiri, bibirnya biru, gigi-giginya yang berwarna kehitaman bekas singkong bakar pemberian Lek Har siang tadi bergerutuk hebat, tubuh ringkihnya bergetar menahan dingin, matanya tak henti-hentinya menelisik pekat yang menyelimuti semesta dan yang ia cari masih tak tampak juga.
Ismail menyandarkan tubuhnya pada batang Ploso, berteduh di atas rumah pohon yang dibuat oleh para penggembala sapi. Atapnya dari tumpukan ilalang kering, sedangkan dindingnya dari daun jati yang dilipat dan disusun sedemikian rupa. Namun percuma saja, baju dan celananya sudah basah kuyup, ia terlanjur menggigil, matanya agak mengatup.
Wajahnya dirayapi gelisah, sudah beberapa jam bergulir dan hujan belum mau berakhir, terkadang ia menyeka butiran bening yang meleleh dari sudut matanya. Bagaimana jika bapak tahu kalau sapi-sapi yang digembalakannya hilang? Pasti bapak akan marah, Ismail teramat takut pada kemarahan bapak  jika ia pulang nanti. Tapi bagaimana lagi, langit sedang tidak bermurah hati. Hujan turun teramat lebat, petir menyambar-nyambar, kilat menyala-nyala seperti jepretan kamera raksasa yang mengambil potret bumi dari angkasa. Ah ia tak tahu mesti berbuat apa lagi, ia sudah mencari sapi-sapi yang ia gembalakan kesana kemari, dan ke semua sudut hutan jati, bahkan ia juga sudah mendaki hingga puncak bukit Lugito yang berada tepat di atas sendang Nganget-yang konon dihuni seekor ular raksasa, seorang pencari kayu bakar dari kampung pinggir hutan pernah tak sengaja melihat ular  memakai mahkota di sana dan lari tunggang langgang karena ketakutan.
Orang-orang bilang, itu adalah ular siluman yang menjaga bukit tersebut. Masih kata orang-orang, konon ada pula harta karun yang tersimpan di perut bukit dan ular itulah yang menjaganya. Bahkan orang-orang yang lain juga sempat melihat sebuah batu yang berbentuk bekas pantat seorang pertapa di atas bukit Lugito. Ia sedikit bergidik jika mengingat cerita-cerita itu, namun tak ada pilihan lain baginya, hanya bukit itu yang belum sempat ditelusuri. Rasa takut kepada ayahnya melebihi segalanya.
Dari puncak bukit, Ismail bisa meluaskan pandangan diantara pohon-pohon jati dan semak belukar, ia memutar pandangan 360 derajat tapi tetap saja tak ada tanda-tanda sapinya terlihat. Ia menangis sesenggukan.
Jika saja ibunya masih hidup mungkin ada yang akan membelanya saat Bapak menumpahkan amarah. Tapi ibunya sudah lama berkunjung ke surga. Dari cerita teman-teman sesama penggembala yang sudah dewasa dan para tetangga yang ia dengar, ibunya meninggal saat melahirkannya lantas ia disebut anak pembawa sial oleh bapaknya karena dianggap sebagai penyebab kematian ibunya. Bapaknya menikah lagi dengan seorang janda beranak dua beberapa tahun setelah ibunya tiada.
Namun sebagian tetangga yang lain mengatakan jika ia hanya anak jadah yang ditemukan sepasang suami istri tak beranak yang merindukan seorang buah hati-yang kemudian dikenal sebagai bapak dan ibunya setelah dewasa nanti-di sebuah selokan, di depan kantor balai desa terbungkus kain jarik dengan bercak darah lantas sepasang suami istri itu membawanya pulang dan mengasuhnya seperti anak mereka sendiri tapi kemalangan menimpa sang istri karena baru beberapa bulan mereka mengasuh sang bayi sang istri meninggal diseruduk seekor sapi saat menggendong sang bayi. Sejak saat itu bapaknya sangat membencinya dan menganggap jika Ismail hanya anak pembawa sial yang membunuh istrinya tercinta. Bahkan tak jarang bapaknya menyebutnya sebagai anak sapi.
Ismail mungkin lebih percaya pada cerita versi kedua jika melihat sikap bapaknya terhadap dirinya selama ini. Tapi bagaimanapun itu, bapaknya adalah orang tua yang membesarkannya meskipun perlakuannya tidak seperti bapak-bapak yang lain-terhadap anaknya-di kampung ini.
Kesalahan-kesalahan kecil saja yang tak sengaja ia buat pasti berujung hukuman yang berat.
Ismail masih ingat, usianya baru menginjak delapan tahun ketika itu, ibu tirinya menyuruh Ismail membuatkan kopi untuk bapaknya yang baru pulang bekerja. Namun bukannya gula yang dimasukkan ke dalam gelas, justru ia tak sengaja mencampurkan garam dengan bubuk kopi, tak pelak bapaknya marah setelah menyeruput kopi buatan Ismail, kemudian memanggilnya lalu menyuruhnya menghabiskan kopi buatannya dan menghukumnya dengan menguncinya di dalam kamar mandi sepanjang malam.
"Dasar anak tak tahu diuntung. Dasar anak jadah,pekik bapaknya.
Ismail hanya tertunduk mendengar ucapan bapaknya, air matanya mengalir deras seperti sungai yang membelah kampung. Dia tak tahu apa itu jadah, tapi dari nada bicara yang dilontarkan bapak, ia tahu bahwa itu bukan sesuatu yang baik.
Dan sejak saat itu pula ia harus menggembalakan sapi-sapi milik bapaknya di hutan jati kampung itu. Seekor jantan berukuran besar, empat ekor betina dengan tanduk menjulang dan dua ekor pedhet adalah sapi-sapi yang harus digembalakan Ismail saban hari.
***
Malam semakin pekat sedangkan langit masih menangis hebat, Ismail teramat menggigil dan masih tak tahu harus berbuat apa, yang ia tahu semesta sedang tidak memihak padanya malam ini, andai saja purnama bermurah hati menampakkan diri mungkin keadaannya akan sedikit berbeda setidaknya matanya mampu menangkap sesuatu dan ia masih mencari sapi-sapi yang digembalakannya. Namun ini bulan muda dan purnama tak muncul di bulan muda. Ah... hatinya teramat nelangsa. Seandainya ia bisa menjadi purnama tentu Ismail bisa dengan mudah menemukan sapi-sapinya. Cahaya sendu yang dipancarkan akan merangsek di antara pohon-pohon jati, menelisik pada ilalang liar yang menyemak di antara tanaman perdu, berbincang dengan kunang-kunang, bercanda dengan gemintang. Ah, rasanya ia ingin sekali menjadi purnama.
"Pasti sangat menyenangkan menjadi purnama, aku bisa terbang ke angkasa, bermain dengan bintang-bintang, juga membantu teman-teman jika sapi mereka hilang," batinnya.
Tiba-tiba ia teringat sebuah ngarai di sebelah bukit, konon ada seorang dukun yang mati gantung diri lantas arwahnya menjadi penghuni tempat itu, bahkan ada yang bilang jika arwah sang dukun seringkali meminta tumbal sapi. Seperti sapi kang karmin yang hilang beberapa bulan lalu, setelah mencarinya semalaman, sapi itu ditemukan mati di ngarai itu pagi harinya.
Ismail bergidik, bulu kuduknya berdiri, bagaimana jika sapi-sapinya menjadi tumbal arwah sang dukun di ngarai itu? Ia tak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi, pasti bapaknya akan sangat marah. Tapi ia ingat betul jika senja tadi ia sudah mencarinya kesana, dan tak ada apapun yang ia temukan. Namun bagaimana jika sapi-sapinya disembunyikan arwah sang dukun dari pandangannya saat ia mencarinya ke ngarai itu? Konon makhluk seperti itu bisa menyembunyikan sapi-sapi yang hilang hanya dengan selembar daun yang tak begitu lebar.
Ia menelan ludah, nafasnya tercekat di tenggorokan, angin malam yang berhembus tergesa kembali menampar-nampar wajahnya. Ismail semakin menggigil, ia memeluk dirinya sendiri lalu merebahkan tubuh ringkihnya di lantai rumah pohon yang terbuat dari ranting jati yang disusun rapi. Langit masih bersemangat menumpahkan air matanya, kilat dan petir menjadi teman setia. Ismail memejamkan mata, tubuhnya bergetar. Dingin semakin merangsek masuk kedalam tubuhnya.
Entah hari apa ini, sehingga kesialan datang mengunjungi. Teman-temannya sedang tak ada yang menggembala karena sedang melihat karnaval di kota. Sebenarnya Ismail ingin sekali ikut teman-temannya melihat karnaval di kota, tapi Bapak tak engizinkannya. Bapak tetap menyuruh Ismail menggembala dan justru kesialan melanda, sapi-sapinya hilang tak tahu rimbanya. Ini salah Bapak, kalau saja Bapak mengizinkannya melihat karnaval di kota tentu sapi-sapinya tak akan hilang semua, batinnya. Tapi semua sudah terlanjur terjadi tak ada gunanya menyesali.
Ismail hampir saja terlelap sebelum akhirnya gemuruh guntur menabuh gendang telinganya lantas ia tergagap. Ia berpikir untuk pulang dan memberi tahu bapaknya jika sapi-sapinya telah hilang, tapi ia tak berani, ia takut menerobos hujan, ia takut pada malam, pada lidah petir, pada siluet belukar saat kilat menyala-nyala dari angkasa, dan tentu saja takut pada kemarahan bapaknya.
Mungkin saat ini Bapak sedang terlelap dengan ibu tirinya, atau mungkin sebenarnya Bapak sama sekali tidak tidur, bapak sedang mencarinya ke mana-mana dan menghawatirkan keadaannya, gumamnya dalam hati. Ah, mana mungkin Bapak peduli, Bapak hanya peduli pada sapi-sapi. Semua itu hanya tinggal kemungkinan-kemungkinan yang selalu berputar dalam tempurung otaknya.
Ismail kembali meringkuk, bibirnya semakin membiru. Seekor kunang-kunang terbang rendah mendekatinya lantas hinggap pada tangannya yang terbuka. Ia terus memandangi kunang-kunang itu, kerlip cahayanya yang redup mengantarkannya pada lelap. Seandainya saja ia bisa menjadi purnama pasti Bapak tak akan menyuruhnya menggembala, ia juga bisa bermain dengan mega-mega, batinnya sebelum menutup mata.
***
Setelah hujan berhenti, Bapak mencari Ismail ke hutan jati. Bapak khawatir karena Ismail tak juga pulang, sementara sapi-sapinya sudah pulang ke kandang sejak senja purna mementaskan operanya. Beberapa saat mencari, tak ada apapun yang ditemui. Ketika hampir putus asa, lelaki itu menemukan seekor kunang-kunang yang bersinar terang. Kunang-kunang itu terbang kesana kemari, seolah ingin bicara padanya lalu ia mengejar kunang-kunang itu.
Beberapa saat Bapak berjalan, tiba-tiba langkahnya terhenti karena kunang-kunang itu menghilang di balik rumah pohon yang cukup tinggi. Mungkin saja Ismail berada di atas sana, batinnya. Lantas ia memanjat ke atas rumah pohon untuk memeriksa barangkali Ismail ada di sana dan tertidur karena kelelahan, namun ia tak menemukan apa-apa. Mungkin Ismail sudah pulang ke rumah, batinnya.
Sementara itu, dari atas rumah pohon ia melihat purnama muncul dari balik bukit Lugito, cahayanya begitu sendu. Bapak terpana melihat purnama itu muncul dengan sempurna. Hey, ini bulan muda, seharusnya purnama tak muncul di bulan muda, batinnya. Ia mengerutkan dahi dan bergegas pulang ke rumah.

Bangilan, 05 April 2017

Adib Riyanto anggota komunitas kali kening.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.