Header Ads

Header ADS

SENANDUNG SENJA SANG VETERAN


Oleh : Linda Tria Sumarno

“Selendang sutra tanda mata darimu
  telah kutrima sebulan yang lalu
  Selendang sutra mulai disaat itu
  Turut serentak di dalam baktiku

  Ketika lenganku terluka parah
  Selendang sutramu turut berjasa
  Selendang sutra kini pembalut luka
  Cabik semata tercapai tujuannya”

Alunan merdu lagu tempo dulu itu mengalun dari radio tua yang terkalung di leher keriput seorang bapak tua dengan rambut dan cambang yang serupa kabut, mata cekung dengan pipi yang tak kalah cekung. Sesekali mulutnya turut bergerak menirukan syair lagu yang mengingatkannya pada hari-harinya yang sulit. Ya, 75 tahun yang lalu ketika badannya masih tegap memanggul senjata dan langkahnya yang masih sanggup melewati hutan dan gunung untuk bergerilya. Masa sulit ketika ia harus rela meninggalkan kekasihnya untuk berjuang memerdekakan diri dan bangsanya. Bangsa yang kini tak sedikitpun menaruh mata pada hidupnya. Masa ketika bapak tua itu tergabung di Brigade Ronggolawe sebagai komandan yang mahir tiga bahasa, bahasa Belanda, bahasa Inggris dan tentunya bahasa Indonesia.
Di tangan kanannya yang hanya tinggal tulang dengan kulit keriput, tertenteng besi dengan ukuran diameter 3 cm dengan ujungnya yang runcing. Besi yang ia gunakan untuk mengambil sampah plastik yang tercecer di jalan maupun di perkantoran. Sedang tangan kirinya, menyeret sak bekas yang mulai terisi di pojokannya. Lelaki tua itu bernama Tejo, bekas pejuang yang kini harus berjuang melawan lapar dan kesendirian. Tak ada istri ataupun anak. Istrinya yang mandul sudah lebih dulu berpulang karena penyakit TBC, penyakit yang tak mampu ia sembuhkan karena mahalnya obat yang harus tertebus. Udara pengap dan lembab rumah kardusnya semakin memperpendek umur istri terkasihnya. Terlihat punggungnya semakin bongkok oleh beban radio di leher. Benda yang menjadi penghibur hatinya. Terik matahari menghentikan langkah tuanya dan membuat ia duduk bersandar pada pohon yang ada di taman kota, tepat di tengah-tengah sepasang monumen meriam yang berseberangan jalan dengan gerbang menuju pantai Boom. Ia mengelap kepalanya yang mengkilat oleh matahari. Nafasnya memburu. Diliriknya pedagang es campur yang terkantuk menunggui gerobaknya yang penuh dengan lodong kaca berisi sirup dan buah-buahan.
“Kemarau di tengah-tengah musim penghujan,” ucapnya sambil memicingkan matanya. Rupanya sinar matahari membuatnya tak bisa membuka mata dengan sempurna.
“Juga bangunan megah itu, angkuh sekali seangkuh penghuninya.” Nafasnya yang berat ia hembuskan pelan saat melihat bangunan megah di tengah-tengah kota tempat orang-orang berseragam keki. Diambilnya botol bekas air mineral yang berada di dalam tas slempangnya.
“Dapat banyak hari ini, Mbah?” Pedagang es campur yang mangkal di taman kota itu memandang karung sak yang diletakkan di samping pohon dekat gerobak esnya.
“Baru dapat sepojokan karung sak ini. Susah banget cari rongsokan sekarang. Kalah dengan mereka yang mendatangi rumah-rumah untuk mengambil sampah.”
“Sama, Mbah. Sudah siang begini esnya juga belum laku. Entah makan apa nanti malam kalau hari ini benar-benar sepi.” Pedagang es campur itu meracik segelas es campur dan menyodorkannya pada mbah Tejo.
“Sudah tua begini, tak berani aku minum es. Hanya ini,” ucap mbah Tejo sambil menunjukkan sebotol minuman berwarna putih keruh.
“Masih kuat jantungnya, Mbah.” Pedagang es campur itu tertawa sinis.
“Sudah sejak muda aku meminumnya. Tuak ini membuat badanku semakin kuat, Ngger.”
“Kata Pak Kyai itu dosa lho, Mbah. Haram.”
Hallah, bukannya tidak adil itu juga dosa, tapi masih saja para Kyai itu suka poligami. Sembunyi-sembunyi juga banyak.” Mbah Tejo berhenti menegak
“Mereka juga teriak-teriak pentingnya sedekah, tapi banyak juga Kyai yang pelit. Bahkan membiarkan orang sepertiku ini kelaparan di depan matanya.”
Pedagang es campur itu mengernyitkan dahi mendengar omongan mbah Tejo. Didekatkan wajahnya pada wajah tua Mbah Tejo. Tak berapa lama, adzan berkumandang memenuhi langit bumi Ronggolawe. Diputarnya leher tuanya memandang asal suara.
“Megah sekali masjid itu, tapi sayang semakin sedikit penghuninya. Begini kok katanya Bumi Qurani. Lha wong yang belum bisa baca Quran juga banyak. Apalagi tingkah orang-orangnya, pejabat-pejabatnya, jauh dari ajaran Quran. Apa tidak baik bumi Ranggalawe saja, biar semangat untuk berjuang dan mencintai tanah airnya itu tetap ada. Aneh-aneh saja.”
Mbah Tejo berkata lirih.
“Mbah, njenengan itu siapa. Berani-beraninya ngomong begitu. Orang macam kita ini harusnya mingkem, biar selamat.”
“Jangankan menghadapi mereka, menghadapi Belanda pun aku tidak takut, Ngger.”
“Belanda? Macam pejuang aja, Mbah.”
“Dulu aku memang seorang pejuang dengan sebutan Letnan Tejo. Dulu aku berjuang untuk bangsaku, bangsamu juga. Tapi sekarang, aku harus berjuang untuk perutku. Biar tidak kempis.”
Mbah Tejo menunjukkan lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kirinya.
“Ini bekas peluru, saat aku tertangkap oleh Belanda yang melancarkan agresi militer kedua dan menyerbu daerah Glondong untuk menguasai Tuban, tepatnya tanggal 18 Desember 1948. Menjelang matahari terbenam, kira-kira 10 mil dari pantai Glondong terlihat 3 buah kapal besar dan 7 buah kapal kecil bergerak menuju bibir pantai. Karena pengamanan pasukan yang kurang, pasukan Belanda dapat dengan mudah masuk dan menguasai Glondong.”
Pandangan Mbah Tejo menerawang ke kaki langit. Matanya berkaca-kaca. Dan ia kembali melanjutkan perkataannya:
 “Dan aku tertangkap saat mencoba mendekati kapal mereka untuk merampas senjata. Jadilah aku tahanan mereka. Dan penjara jaman dulu beda dengan jaman sekarang. Dulu tanganku diikat dengan kawat berduri, bokongku dipopor dengan moncong senapan, kakiku diberi golongan besi dan diberi air minum yang dicampur dengan kencing mereka. Bedebah, bau pesingnya masih teras sampai sekarang. Beda dengan penjara saat ini yang tahanannya bisa plesir kemana-mana.”
“Tapi Mbah, kang Dasri sebelah rumahku yang di penjara tetap saja mendekam di sel. Tak bisa pergi kemana-mana, bekerja dari pagi sampai sore di sana.”
“Itu karena tetanggamu hanya maling ayam atau maling jemuran, bukan maling berdasi.” Pedagang es campur itu melenguh panjang mendengar ocehan Mbah tejo, memandang bangunan megah di hadapannya yang penghuninya mulai berhamburan keluar. Ia pun mengalihkan pembicaraan.
“Mbah, besok sepertinya akan ada acara di taman kota ini. Lihat, Mbah. Terop-terop sudah mulai dipasang, podium juga sudah menancap di tengah taman.” Pedagang es campur itu memandang heran taman kota. Mbah Tejo pun mengarahkan pandangannya ke arah telunjuk pedagang es campur itu.
“Lho, besok itu tanggal berapa?”
“20 Mei, Mbah.”
“Bebal kamu kalau sampai melupakan sejarah bangsamu. Besok itu Hari Kebangkitan Nasional, pastinya akan ada upacara.” Mbah Tejo memandang tajam pedagang es campur itu. Sedang yang dipandang menggaruk-garuk kepalanya.
“Berarti besok mbah diundang untuk ikut upacara? Pejuang kemerdekaan.” Pedagang es campur itu membelalakkan matanya.
“Upacara itu hanya untuk mereka yang bersepatu licin. Sedang aku sandal saja harus memungut dulu dari tempat sampah.”
Mendengar ucapan Mbah Tejo, pedagang es campur itu tertawa terbahak-bahak.
“Apa yang kamu tertawakan?” Mbah Tejo mendelik.
“Bebal mana, saya atau mereka yang bersepatu licin itu, Mbah?  Kepada pejuang kemerdekaan saja mereka menutup mata, apalagi kepada orang macam saya. Yang dianggap sebagai kotoran yang merusak pemandangan taman kota ini.” Pedagang es campur itu kembali tertawa terbahak-bahak dan kemudian melanjutkan perkataannya:
“Hampir tiap hari pedagang kaki lima di sini ini kena gusur, Mbah. Termasuk saya. Pengganggu keindahan kota, kata mereka. Jadi jangan merasa Mbah ini orang paling tersingkir di negeri ini.”
Mendengar perkataan pedagang es campur itu Mbah Tejo menggeram dan menggertakan giginya yang hanya tersisa dua buah, sisanya hanya gigi palsu murahan yang ia dapatkan di pasar.
“Mbah, kita ini orang miskin. Tetap saja akan miskin meski mereka yang menjadi bupati dan presiden berganti-ganti. Mereka itu hanya mengenyangkan perut mereka sendiri.”
“Kamu semakin banyak omong. Terus kamu mau menyalahkan siapa jadi pedagang es begini.” Mbah Tejo kembali meneguk Tuak yang tersisa di dasar botol.
“Nasib, Mbah. Siapa yang mau jadi seperti ini. Saya hanya lulusan SMP. Mau kerja di pabrik juga tidak diterima, apalagi kerja di gedung megah itu.” Pedagang es campur itu menunjuk gedung megah dihadapan mereka.
“Dulu katanya kalau si Bapak itu terpilih jadi pemimpin, sekolah gratis, nyatanya apa Mbah. Tetap bayar ini itu dan bapak saya tidak kuat bayar, Mbah.” Pedagang es campur itu melipat wajahnya.
“Sekolah gratis dengkulmu, di Negri ini kencing saja bayar.” Mbah Tejo berkata setengah teriak. Suara bising mobil yang lalu lalang membuat perbincangan mereka terhenti sejenak. Menikmati kepulan asap kendaraan yang menghitam dan menari-nari di depan wajah mereka.
“Itulah, Mbah. Bagaimana nasib anak saya nanti. Untuk makan saja susah, apalagi biaya sekolah mereka.”
“Jangan mengeluh, malu didengar semut.” Mbah Tejo memejamkan matanya sedang pedagang es campur itu semakin melipat wajahnya.
“Mengeluh juga tidak ada guna, Mbah. Hidup ini memang berat. Dan bapak saya tidak pernah mengajari saya untuk mengeluh.” Pedagang es campur itu berhenti berkata ketika mendengar suara dengkuran yang hampir mirip suara radio yang kehilangan channel. Pedagang es campur itupun mendehem dan mengerutkan mulutnya.
“Mbah, jangan tidur di sini. Nanti kalau ada petugas Satpol PP bisa habis.”
Pedagang es campur itu mengguncang bahu Mbah Tejo, tapi sepertinya Mbah Tejo sudah terbuai mimpi. Mimpi duduk diantara orang-orang bersepatu licin di bawah terop di tengah taman kota yang terpasang siang ini. Dengan baret kuning menghiasi rambutnya yang memutih juga lencana yang bertengger di dadanya. Dengan gagah ia lihat bendera merah putih berkibar tabah meski angin menghempaskannya.
Pedagang es campur itu melenguh panjang mendengar dengkuran Mbah Kerto. Ia pun berdiri dan membengkokkan badannya. Suara gemeretak tulangnya membuat mulutnya tertarik ke atas. Bokongnya yang tipis terasa panas duduk berlama-lama di tanah.
Langit mulai menjingga, pedagang es campur itu memandang lesu gerobaknya. Hanya ada beberapa pembeli yang menghampirinya. Sedang Mbah Tejo masih juga mendengkur.
“Nyenyak sekali kau, Mbah. Mungkin sewaktu mudamu kau jarang menikmati harimu.” Pedagang es campur itu mengemasi dagangannya, hari mulai gelap, sudah tak akan ada lagi orang yang sudi membeli dagangannya. Dengan lesu, didorongnya pulang gerobak esnya. Sayup-sayup, dari radio yang melingkari leher Mbah Tejo, terdengar tembang Sinom.
                                                            ***
Matahari mulai menghangati bumi Ronggolawe saat Mbah Tejo membuka matanya. Sore kemarin, kaki tuanya tak mampu membawanya pulang ke rumah kardusnya. Tubuh rentanya menggigil semalaman di bawah pohon, badannya tiba-tiba demam. Udara malam telah merobohkan pertahanannya. Perutnya melilit, kaki tuanya tak mampu bangkit. Ia tetap bersandar menunggu pagi tiba.
Dan pagi ini di tengah taman kota, lalu lalang orang-orang dengan pakaian biru tua dengan lambang Korpi dan tanda pengenal di dada mulai memenuhi lapangan. Mata kuyunya samar melihat barisan anak-anak dan orang dewasa memenuhi taman kota. Sedang seorang dengan pakaian putih-putih dan topi laksana angkatan laut berdiri mematung di antara barisan orang di bawah terop. Sayup-sayup terdengar lagu Indonesia Raya berkumandang. Nafas Mbah Tejo semakin memburu, dengan lemas ia taruh ujung telapak tangannya di dahi, memberi hormat. Persis yang ia lakukan beberapa puluh tahun silam saat bendera merah putih berkibar sesaat setelah proklamasi kemerdekaan. Belum selesai lagu Kebangsaan itu dikumandangkan, tangan keriputnya jatuh di paha kanannya. Nafasnya semakin tersengal, ujung kakinya dingin begitu juga dengan kedua kakinya. Tak berapa lama, mata tuanya terkatup dan nafasnya semakin melemah, kemudian hilang diantara pekik lagu Kebangsaan.

                                                          ***

Bangilan, 1 Mei 2017
Penulis adalah anggota Komunitas Kali Kening.

Ilustrasi gambar oleh : http//kfk.kompas.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.