Header Ads

Header ADS

Luka di Ujung Canting



Oleh : Linda Tria Sumarno
            Lelaki berumur 32 tahun itu duduk membatu di depan selembar kain batik gedhog bermotif daun siwalan yang tergeletak di ranjang kamarnya. Terlihat bahunya bergerak naik turun bersamaan dengan nafasnya yang memburu. Lelaki bernama Akbar dengan kulit kuning langsat, mata bulat dan hidung mancung itu menunduk. Seprai bermotif bunga-bunga mawar basah oleh air mata dan ingusnya. Tangannya bergetar ketika membuka pelan kotak kuningan peninggalan nenek terkasihnya yang berada di laci lemari bajunya. Terasa sekali ada beban yang coba ia hempaskan. Tangisnya semakin menggugu ketika ia melihat potret dengan gambar sepasang wajah tua yang kedua bola matanya meredup. Puas memandang wajah tua itu, ia dekap potret yang mulai menguning di tiap sisinya hingga tangisnya mereda dan terngiang dongeng emaknya tentang sejarah batik yang selalu diceritakan ketika malam mulai merangkak.
            “Usaha batik mak ini warisan leluhurmu, Nak. Sudah ada jauh sebelum zaman kemerdekaan. Dulu, nenekmu memintal kapas dan membuatnya menjadi kain, baru kemudian di lukisnya kain itu. Nenekmu pintar sekali membatik, Nak dan selimut ini, dilukis nenekmu selama hampir satu bulan.”
Selalu di bagian itu emak Akbar berhenti sejenak dan menyelimuti Akbar dengan selimut batik buatan neneknya. Batik dengan motif cumi-cumi.
            “Terus, Mak ?”
Akbar meringkaskan tubuhnya dan mendekap selimut batik itu.
            “Kau tahu, Nak. Dulu ada seorang perempuan hebat dari desa kita ini, namanya Rukayah, entah bagaimana ceritanya, di tahun 1987 Rukayah diundang ke Amerika untuk memperkenalkan batik Kerek ini. Sejak itulah, kain batik Kerek mulai dikenal dunia.”
            “Perempuan hebat, Mak ?”
Akbar memandang teduh wajah emaknya.
            “Ya, Nak. Perempuan hebat, perempuan yang akan selalu dikenang oleh sejarah.   Dan kau harus tahu sejarah leluhurmu ini, agar kau tidak menjadi pemuda bebal, agar kau mampu menghargai budaya leluhurmu sampai kapanpun, sampai nafas terlepas dari badan, juga sampai ruh tercerabut dari badanmu. Jangan biarkan mereka yang bukan pribumi, mengakui dan merampasnya.”
Suara berat emaknya menghiasi malam yang sunyi kala itu, sebuah dongeng yang menumbuhkan sebuah rasa di sudut hati Akbar, rasa yang sampai kini masih tetap sama bahkan lebih hebat dari sebelumnya.
Akbar semakin larut dengan cerita masa kecilnya hingga mata bulatnya mengatup, nafasnya lirih dan tertidur mendekap mimpi.

                                                                        ***
            Matahari bersembunyi di sebalik awan desa Jarorejo dan memancarkan cahaya jingga saat Akbar membuka mata. Ia rasai tubuhnya menggigil, kakinya kaku dan kedua matanya terasa berat. Ia berdiri mengambil kain batik gedhog yang membalut tubuhnya dan melipatnya, pelan sekali seolah takut melukai goresan canting yang membentuk motif daun siwalan itu.
“Maafkan aku, Mak. Bahkan di usiamu yang mulai senja aku masih juga melukai hatimu”.
Akbar menghela nafas panjang, terbayang olehnya 27 tahun silam wajah kaku bapaknya saat ia ketahuan memegang canting dan menggoresnya di kain putih polos emaknya. Sebuah penjalin mendarat di kedua kakinya yang masih sebesar kaki meja ruang tamunya. Emaknya hanya meraung melihat itu, mendekap dan menyembunyikan wajah anak laki-lakinya di dadanya yang rata. Setelah itu, selalu bapak Akbar berteriak dan menendang canting yang terbuat dari tembaga dengan bambu sebagai gagangnya hingga membentur tembok dan menjadi empat bagian.
            “Ami, ajari anakmu untuk menghargai kodratnya sebagai laki-laki”.
Semakin erat emak Akbar mendekap Akbar saat teriakan itu menggema dan menusuk telinga Akbar juga emaknya.
            “Kenapa bapak selalu marah saat Akbar membatik, Mak? Bukankah Emak juga membatik? Bahkan lebih lama dari Akbar?”
Akbar berkata sambil terus tergugu, namun pertanyaan yang selalu berulang itu tak berjawab sampai sekarang, saat rambut emaknya memutih dan badannya sakit-sakitan. Meski berpuluh kali bahkan beratus kali Akbar menanyakan hal itu kepada emaknya.
Akbar beringsut malas dari kamarnya, membuka pintu dan didapatinya sang emak sedang duduk di kursi roda di temani Sumi, seorang gadis berkulit sawo matang dengan rambut yang selalu di kepang. Pipinya yang lesung pipit membuatnya semakin manis saat tersenyum.
“Emak sudah makan ?” Akbar duduk di hadapan emaknya dan memijit kaki emaknya yang terkulai, habis dimakan osteoporosis.
“Sudah, Sumi yang menyuapi emak”.
“Makan yang banyak, Mak. Biar sehat tubuh emak.” Akbar mendorong kursi roda emaknya menuju jendela. Hamparan sawah yang mulai menghijau oleh tanaman padi menyegarkan mata Akbar juga emaknya.
“Segar sekali udara sore ini, Mak. Sesegar wajah emak saat Akbar masih kecil, saat Akbar mulai belajar memegang canting dan menggoreskannya.”
Terlihat senyum mengembang di wajah keriput emak Akbar. Pandangannya menerawang ke langit, dilihatnya awan yang berarak-arakan seolah berkejaran dengan burung pipit yang melela manja.
            “Oya Mak, emak masih ingat dengan bekas pukulan di kaki Akbar ini?”
Akbar menarik celananya dan memperlihatkan daging pembungkus tulangnya yang agak mendelep.
            “Ini adalah bekas pukulan kayu penjalin bapak, Mak.”
            “Mengapa kau masih juga mengingatnya, Nak? Bukankah sudah seharusnya kita mengubur masa lalu yang kelam? Agar hidupmu menjadi terang dan tidak salah jalan? Apalagi bapakmu juga sudah lama meninggal.”
Mata tua emak Akbar meredup, terlihat duka yang coba ia sembunyikan.
            “Sampai kapan pun Akbar akan mengingatnya, Mak. Bukan karena penyebab luka ini, tapi akibat setelah luka ini.” Akbar menurunkan kembali celananya dan meletakkan kepalanya di pangkuan emaknya.
            “Mak, kenapa emak belum juga menjawab pertanyaan Akbar. Bukankah sekarang Akbar sudah besar, Mak? Akbar sudah menjadi pembatik hebat sekarang. Akbar sudah mempunyi butik batik sendiri. Jawab, Mak, kenapa bapak selalu melarang Akbar membatik?” lirih Akbar berucap dan memandang lekat mata emaknya.
            “Berapa kali emak harus bilang, berhenti bertanya tentang itu.” 
Rona wajah emak Akbar berubah,  matanya terlihat membesar, urat di lehernya menonjol dan segera emak Akbar memundurkan kursi rodanya.
            “Sumi, bawa emak ke kamar.”  Emak Akbar berkata setengah berteriak.
Terlihat Sumi tergopoh dan mendorong kursi roda emak menuju kamar. Akbar terpaku dan melenguh. Memandang punggung Sumi dan emaknya.
            “Duka apa yang sebenarnya emak rahasiakan dari Akbar?”.
Kembali air mata Akbar membasahi pipinya. Ia dudukkan tubuhnya di sofa dan dipandanginya langit-langit rumah. Sedang dari dalam kamar emaknya, terdengar suara tangis emaknya yang menggugu dan suara Sumi yang sibuk menenangkannya.
                                                                            ***

            Api tungku terlihat membesar di sudut timur pekarangan belakang rumah Akbar saat para pekerja mencelupkan kain batik guna menghilangkan lilin yang menempel saat proses pembatikan, sebuah proses yang disebut nglorot, proses yang sangat melelahkan karena para pekerja harus berjuang melawan rasa panas yang membakar kulit. Sedang di sudut barat, terlihat para pekerja yang lain sibuk mencuci batik yang selesai dilorot dan menjemurnya di gawangan, pekerja yang semuanya laki-laki. Sedang di utara, di teras belakang rumah Akbar terlihat puluhan perempuan sedang bergurau sambil menggoreskan canting di kain sutra putih, membatik motif burung, daun, juga hewan yang merupakan ciri dari kota Tuban. Akbar juga mempunyai tempat khusus untuk membatik, tempat yang menjauhkannya dari suara bising kehidupan, di kamarnya yang berukuran 4 x 5 meter. Di situ, ia tumpahkan semua kegundahan dan kegusarannya, hanyut dalam tiap goresan cantingnya.
Dan sore itu, saat mendung mulai bergelayut manja di langit desa Jarorejo, Akbar sibuk menyelimuti tubuh emaknya yang menggigil. Sudah satu minggu ini emak Akbar sakit, sakit tua ujar orang-orang menyebutnya. Tubuh renta itu juga tergolek lemas oleh sakit osteoporosis yang semakin memakan habis tenaganya.
            “Sumi, tolong buatkan sup buat emak.”
Akbar memandang Sumi, sedang Sumi tanpa berkata sepatah pun langsung menuju dapur dan sibuk mengiris wortel.
            “Akbar, anak emak, Sumi itu gadis yang sangat baik selain ia juga taat pada Tuhannya. Kenapa sedikitpun kamu tidak tertarik padanya, Nak? Gadis macam apa yang kamu cari?”
Emak Akbar mengenggam erat tangan Akbar dan air matanya meleleh. Akbar terdiam dan tangannya mengelus lembut wajah emaknya.
            “Mak, Akbar sudah bahagia hidup dengan emak. Emak cepat sehat ya.”
Akbar mendekap tubuh emaknya dengan erat. Terasa sesak dadanya, terbayang lagi olehnya berpuluh-puluh tahun silam saat bapaknya memukul emaknya tanpa ampun dengan penjalin ketika emaknya mengajari Akbar membatik. Pukulan yang menyisakan luka di badan juga tubuh emaknya. Kenapa Bapak begitu kejam, Mak. Kenapa hanya karena Akbar membatik, Bapak begitu tega memukul emak dan Akbar dengan penjalin? Dan kenapa emak tetap tak mau memberitahu Akbar alasan Bapak? Batin Akbar, dan ia semakin mendekap erat tubuh emaknya. Tangis yang coba ia tahan, tumpah juga di dekapan emaknya.
            “Tak ada yang perlu disesali, Nak. semua sudah berjalan sesuai dengan garis nasib kita.”
Emak Akbar melepaskan dekapan anaknya, seolah ia dapat membaca kesedihan Akbar.
            “Jika sudah tiba waktunya, kau pasti akan mengetahui apa yang menjadikan gundahmu selama ini. Jika sudah tiba waktunya, Nak.”
Emak Akbar memiringkan tubuhnya hingga berhadap-hadapan dengan Akbar. Tak berapa lama, terdengar ketukan pintu kamar, dan Sumi masuk membawa dua mangkuk sup, satu untuk emak dan satu untuk Akbar.
                                                                        ***
            Sore itu, selepas sholat Ashar, Akbar dikagetkan dengan suara gelas pecah di kamar emaknya. Segera ia berlari dan mendapati emaknya yang terjatuh dari ranjang kamarnya. Sumi yang sibuk merebus air untuk menyeka tubuh emak, juga lari tergopoh-gopoh.
            ‘Emaaaaaaaakkk.....”
Akbar mengangkat tubuh emaknya dan dipangkunya. Kakinya yang berdarah karena terkena pecahan gelas tak lagi dihiraukannya. Dipeluknya tubuh emaknya yang terkulai. Tangisnya tergugu ketika mata tua emaknya menatapnya lembut
            “Akbar, biarkan emak rebah di ranjang emak.”
Segera Akbar merebahkan tubuh emaknya, dipijitnya badan emaknya. Akbar tak kuasa melihat nafas emaknya yang begitu susah. Mata tua emaknya terkatup, mulutnya terbuka. Dingin tubuh emaknya membuat Akbar panik, segera ia suruh Sumi untuk memanggil dokter.
            “Emak yang kuat ya....”
Akbar berbisik di telinga emaknya namun tak berjawab. Hanya suara nafas yang semakin lama semakin melemah. Tak berapa lama, Sumi datang dengan dokter yang segera memeriksa tubuh emak. Dan setelahnya, dokter segera menghampiri Akbar yang berada di sudut kamar emaknya.
            “Nak, emak sudah tiada...”
Seketika itu juga tangis Akbar tumpah dan segera ia mendekap tubuh emaknya. Sumi yang sedari tadi berdiri di samping pintu, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya berguncang. Orang yang selama ini menjadi orang tua angkatnya, kini telah pergi untuk selamanya.
                                                                     ***
  Tujuh hari setelah kepergian emak, Akbar masih juga merenung di kamarnya. Sumi yang beberapa hari ini mengetuk pintu dan menaruh makanan di meja kamarnya, sedikitpun tak dihiraukannya. Dan malam ini, Sumi kembali mengetuk pintu kamar Akbar. Lama Sumi berdiri di depan pintu, hingga Akbar dengan malas membukanya.
            “Mas Akbar, tidak baik bersedih terlalu lama. Hidup Mas Akbar masih panjang. Dan ini, emak menitipkan kotak serta kuncinya kepada Sumi untuk mas Akbar.”
Sumi menyerahkan kotak berwarna maroon itu kepada Akbar. Kotak berbentuk persegi yang berlapis batik kesukaan Akbar, batik motif cumi. Sumi pun segera beranjak dari hadapan Akbar. Dengan malas Akbar kembali duduk di tepi ranjang dan memandang heran kotak di tangannya. Dibukanya kotak itu, Akbar hanya menemukan sepucuk surat dan sepotong kain putih yang belum selesai digambar, gambar kuda Ranggalawe. Dibacanya surat itu perlahan...
Untuk Akbar, anakku.
Assalamu’alaikum....
Akbar anakku, saat kau baca surat ini, emak sudah tidak lagi berada di sampingmu. Emak pergi dengan membawa bahagia di hati emak, karena mempunyai anak sepertimu. Kau telah habiskan separuh dari umurmu untuk menjaga dan merawat emakmu, dan kau seorang lelaki yang hebat, Nak, tak baik selalu menggenggam erat tangan emakmu, karena ada tangan lain yang harus juga kau genggam, tangan belahan jiwamu. Menikahlah, Nak, maka akan smepurna hidupmu.
Akbar, maafkan emak yang selama ini membiarkanmu hidup dengan kebencian kepada bapakmu, asalkan kamu tahu, Nak, bapakmu begitu menyayangimu. Bapakmu begitu melindungimu. Terlepas dari apa yang dilakukannya selama ini kepadamu. Karena bapakmu mempunyai alasan untuk melakukan itu.
Dan maafkan emak juga jika emak membiarkanmu hidup dengan kegundahan. Dengan pertanyaan yang selalu saja emak enggan menjawabnya. Karena emak tidak kuasa mengatakannya, Nak. Emak tidak ingin melukai hatimu. Namun kini saatnya emak ceritakan apa yang selama ini begitu ingin kau ketahui.
Akbar anakku, kau hidup di desa dan tanah yang begitu kuat memegang adat leluhur, begitu juga emak dan bapakmu ini. Oleh itu, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita harus mematuhinya, Nak, terlebih bapakmu. Namun tidak dengan emakmu ini, hingga harus rela tulang-tulang emakmu ini remuk oleh amukan penjalin bapakmu, karena emak yakin bahwa di atas aturan manusia, masih ada Tuhan yang lebih berkuasa.
Kau tahu, Nak, apa yang menyebabkan bapakmu begitu murka saat kau membatik, itu tidak lain karena adat leluhurmu yang tidak mengijinkan seorang laki-laki memegang canting apalagi membatik. Karena kata mereka, itu menyalahi kodrat, dan akan susah berjodoh. Yang lebih menyakitkan lagi, laki-laki pembatik akan menjadi seorang banci. Kau tahu, Nak, itu yang membuat emak berlama-lama menangis, karena emak tahu kau begitu menggilai batik.
Akbar anakku, kau tahu, kenapa tulang kaki emak harus patah oleh penjalin bapakmu ketika kau melukis kuda Ranggalawe, sosok pahlawan yang begitu kau puja. Karena leluhur akan mengutuk kita, Nak, dan akan habislah usaha batik bapakmu.
Namun kau tahu, Akbar, ibu lebih menyukai kau menjadi dirimu sendiri, karena batik adalah jiwamu, jiwa desa dan tanah kita. Maka, teruslah membatik, Nak, karena emak yakin, kenapa sampai sekarang kau belum menikah, itu bukan karena kau sulit berjodoh, karena memang Tuhan belum menghadirkan sosok bidadari di sampingmu, dan emak yakin, kenapa kau juga sedikit kemayu, itu bukan karena kutukan leluhur, tapi karena kau terlalu lama bergaul dengan emak, kau menutup diri dengan dunia luar. Dan percayalah, Nak, Tuhan mempunyai rahasia di balik semua ini.
Akbar anakku, emak titip Sumi padamu, dia gadis yang baik, emak harap kau mau menjadikannya pengantinmu. Sumi telah merawat emak dengan baik, Sumi pasti akan mampu merawatmu dengan baik juga.
Akbar, lanjutkan hidupmu, Nak, karena matahari akan tetap setia menghangatkan tubuhmu meski dingin akan menggigilkanmu.
                                                                                                Emakmu “Aminah”
Akbar mendekap surat dari emaknya, tubuhnya lunglai, dadanya begitu sesak dan dari kedua bola matanya yang bulat, bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipinya. Dipeluknya kain batik berlukis kuda Ranggalawe miliknya, dan berlarilah ia ke dalam kamar emaknya, meraung dan memeluk potret emaknya.

                                                                                                Bangilan, 29 Juli 2017
Note :

Gambar oleh qlapa blog

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.