Kincir Angin dan Kereta Kuda yang Terbakar Api
Oleh: Ayra Izzana Riyanti
“Malam perayaan Agustusan sudah semakin dekat, Bi... Ihsan
selalu menanyakan kapan ia diajak naik kincir angin dan kereta kuda.”
Suara lembut milik perempuan berjilbab merah muda yang telah
pudar warnanya itu menghentikan tangan laki-laki yang sedang mengotak-atik
sebuah radio tua. Ia memandang lembut dengan senyum tersimpul agar kegundahan
sang istri mereda.
“Sabar ya, Mii... semoga besok ada rizki lebih agar kita bisa
membawa Ihsan naik kincir angin dan kereta kuda.”
Perempuan bermata teduh itu tersenyum sembari mengelus
perutnya yang kian hari kian membuncit.
“Radio, kipas angin dan beberapa amplifier ini sudah jadi,
Miii... besok akan Abi antar ke pemiliknya masing-masing.”
“Alhamdulillah..” Raut wajah yang sama sekali tak pernah
tersentuh harumnya bedak itu cerah berbinar.
Besok akan ada lauk-pauk yang sekiranya pantas
dan bergizi untuk Ihsan dan jabang bayi yang masih meringkuk hangat di
perutnya. Akan ada uang jajan untuk Ihsan meski sekedar sebungkus roti dan
seteguk es. Akan ada sekilo beras yang akan menghuni dalam gentong tanah.
Muhammad Aljazair atau biasa disapa Alja. Seorang reparasi
alat-alat elektronik yang baru berumur tiga puluh tahun itu merapikan alat-alatnya
dan menyendirikan barang-barang elektronik yang sudah selesai ia perbaiki. Ia
letakkan dalam keranjang yang tak pernah ia turunkan dari motor tuanya.
Sehingga dengan mudah ia segera membawa dan memberikannya kepada pemiliknya
dengan upah ala kadarnya lalu berharap pulang dengan membawa elektronik-elektronik
rusak lainnya.
Kadang bila peruntungan memihak padanya ia akan memperoleh barang-barang rusak lainnya dengan cuma-cuma.
Ia akan memperbaikinya dan
menjual dengan harga terjangkau. Tapi kadang itu tak mudah. Seringkali seharian Alja menjajakan elektronik-elektronik rakitannya
itu dan tak laku satu pun. Kecanggihan teknologi rupanya telah mengalahkan
alat-alat komunikasi tradisional. Kadangpula sambil berkeliling ia dipanggil
salah satu pemilik rumah di pinggiran jalan untuk sekedar memperbaiki kipas
angin yang tiba-tiba mendadak berhenti berputar.
Meski hanya satu atau dua, bibir Alja yang selalu kering itu
tak pernah berhenti mengucap syukur. Terlebih saat ia bekerja untuk
memperbaiki, wajah Ihsan selalu membayang dengan senyum tulus tanpa dosa itu
menyambutnya pulang selepas Ashar. Dan bocah empat tahun itu selalu menunggunya
untuk sholat berjamaah. Ah... sungguh amanat Tuhan yang harus ia jaga dengan
sebaik-baiknya. Menjaganya dengan iman meski kekurangan melanda. Senyum Ihsan
nyaris tak pernah pudar meski dengan terbata-bata pada suatu malam ia
mengutarakan keinginannya untuk naik kincir angin dan kereta kuda di malam
perayaan tujuh belas Agustus.
***
“Abiii.... kita jadi kan naik kincir angin?” tanya Ihsan
dengan senyum menggelayut mesra di bibir mungilnya yang basah. Alja terhenti
sejenak. Memandang kedua bola mata milik Ihsan yang nyaris bundar. Terang dan
menyimpan harapan sederhana. Alja mengelus rambutnya lembut.
“Iya, Naaak... kita akan ke malam perayaan untuk naik kincir angin
dan kereta kuda. Doakan Abi dapat
rizki, ya...”
Ihsan mengangguk dengan mata membulat dan girang luar biasa,
lalu menghampiri ibunya yang sedang duduk berselonjor mengurut kedua kakinya
yang membengkak dengan minyak angin.
“Mii... nanti Ihsan mau beli balon terbang, arumanis, tahu
petis, jenang, kacang, emh..... apalagi ya, Mi?” Ihsan menghitung
jari-jarinya seolah-olah sepuluh jarinya tak bisa mewakili banyaknya mainan dan
makanan yang akan dia beli di malam perayaan nanti.
“Iya, sayaaaang... kita akan membeli semuanya.”
Malam merangkak membawa hawa dingin. Ihsan mengatupkan
matanya dengan iring-iringan mimpi yang indah. Kincir angin, kereta kuda, balon
terbang, arumanis........... tak lepas juga doa untuk ayahnya agar tak pernah
terputus akan rizki.
Malam dengan manis membawa terbang mimpi bocah itu menemani
bintang-bintang dan bulan yang bersinar dengan terang benderang serta mengukir
senyum di sudut bibir mungil dalam lelapnya tidur.
***
Terik matahari terasa membakar ubun-ubun. Padahal waktu ashar
sudah dekat. Alja menyandarkan tubuhnya di tiang teras sebuah Mushola. Air
dalam botol mineral yang tinggal setengah ia teguk habis tak tersisa. Wajahnya
berkeringat dan nafasnya memburu. Tinggal sehari lagi malam perayaan itu. Tapi
seharian ini tak ada seorangpun yang memerlukan jasanya. Ah... teringat kembali
wajah sumringah milik Ihsan dengan membawa harapan sederhana itu. Alja menyeka
keringatnya yang hampir masuk ke mata. Terbayang jelas juga dipelupuk matanya
sang istri, Maimunah yang selalu menanamkan kesabaran pada jiwa Ihsan bahwa
setiap keinginannya pasti akan terpenuhi meski harus menunggu. Maimunah yang
selalu dengan wajah lelah namun ikhlas, menerima setiap apa pemberiannya meski
tidak banyak, bahkan jauh dari kata cukup.
Waktu Ashar semakin dekat. Tinggal satu putaran saja dan
sebentar lagi ia akan pulang menemui Ihsan dan seperti biasanya, sholat ashar
berjamaah. Alja hampir beranjak ketika seorang imam Mushola masuk dan bertanya:
“Loh ini Bang Alja tukang servis itu yaa..?”
Dengan cepat Alja menjawab:
“Iya pak betul sekali. Ada yang bisa dibantu?”
Semangat Alja kembali tersulut. Tanda-tanda kemurahan Allah
di depan mata. Hatinya berkali-kali mengucap hamdalah dengan haru.
“Kebetulan bertemu disini... amplifier di Mushola ini sudah
beberapa hari ini tak berfungsi. Tolong Bang Alja perbaiki, ya...”
Hatinya semakin deras mengucap syukur. Senyum manis milik
Ihsan kembali menggelayut.
“Oh iya, Pak, tentu...”
“Bisa diperbaiki disini kan..?”
Alja melongo. Ia harus segera pulang dan shalat berjamaah dengan
Ihsan.
“Nanti habis ashar sampean
lihat dulu. Kalau tidak cukup
waktunya bisa dibawa pulang..”
“Ouwhh... baik, Pak. Matursuwun...”
Hari ini untuk yang pertama kalinya, Alja shalat Ashar tanpa
Ihsan. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup di dadanya. Saat sujud rasa
haru luar biasa tak bisa ia bendung hingga tak sadar setetes air mata bening
luruh menimpa sajadah Mushola. Bukan karena upah yang ia harapkan kali ini. Tapi
lebih dari itu yaitu jasanya untuk memperbaiki elektronik rusak hari ini terpakai.
Apalagi memperbaiki amplifier Mushola yang sangat penting untuk kemashlahatan
umat. Mungkin imam Mushola itu kebingungan saat amplifier itu rusak. Karena
suara adzan tak lagi sekeras seperti biasanya hingga jamaah makin berkurang.
Bahkan dalam hati Alja
bertekad tak akan memungut sepeser pun. Ucapan syukur tak terhingga dan meluap-luap hingga ia
nanti harus memberi sedikit pengertian saat si kecil protes mengapa Abi tak
sholat berjamaah dengannya.
Jamaah sholat yang hanya beberapa gelintir orang itu selesai
dan hanya tinggal Alja yang dipersilahkan imam Mushola untuk memperbaiki
amplifier. Alja medekati amplifier dan mulai membuka pelan-pelan untuk sekedar
melihat bagian mana yang perlu diperbaiki. Tapi entah kenapa suatu perasaan
mendera agar ia secepatnya pulang amplifier. Ihsan pasti sudah mondar-mandir di
depan pintu. Bukankah kata imam Mushola tadi dibawa pulang tidaklah menagapa.
Alja mengangkat amplifier itu dan membawa keluar untuk di
letakkan diatas motor. Ia mengikat kuat agar amplifier itu tak jatuh saat
motornya melaju nanti. Tapi entah dari mana asalnya tiba-tiba terdengar suara
yang berteriak:
“Maling... maling...”
Alja menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi dari arah yang tak
disangka ada beberapa orang yang menuju ke arahnya dan menunjuk dirinya. Alja
kaget dan tertegun.
“Maling... maling...”
Alja kebingungan. Apa dia yang diteriaki maling?. Beberapa orang berlari dan menuding kearahnya. Tanpa ba bi bu Aljaa segera
meninggalkan motornya dan berlari menyelamatkan diri. Semua orang menunjuk ke
arahnya. Secepat kilat menyambar, ia berusaha melepaskan
diri dari terkaman orang-orang. Suara riuh rendah yang meneriakinya maling
semakin banyak. Alja semakin mempercepat larinya. Suatu hal yang sulit untuk menjelaskan
bahwa dia bukan maling pada orang-orang yang sudah kalap dimakan api seperti itu. Alja berlari sambil berkali-kali menengok ke belakang.
Semakin dekat dan Alja semakin payah. Keringatnya terkuras dan nafasnya hampir putus. Alja terus mempercepat lajunya sambil beberapa
kali menengok ke belakang, memastikan orang-orang yang mengejarnya tak dapat
menyusulnya tanpa mempedulikan keadaan jalan di depan.
Brughhhh....
Salah satu kaki Alja masuk keparit sempit yang membuat
tubuhnya terhempas sebagian ke dalam parit yang berkedalaman satu meter itu.I berusaha menarik tubuhnya agar secepatnya keluar dari parit. Tapi orang-orang itu sudah
begitu dekat dan ia tak mampu mengangkat tubuhnya.
Prakkk...
Bughhh....
Hantaman kayu, dan kepalan-kepalan tangan mendarat di kepala
dan seluruh tubuhnya. Rasa ngilu, sakit, perih ia rasakan mendera-dera
badannya. Pandangannya mulai berkunang-kunang.
“Tungguu... jangan main hakim sendiri. Ia bukan maling.”
Alja kenal suara itu. Ia adalah imam Mushola yang
menyuruhnya untuk memperbaiki amplifiyer. Tapi...
“Ah... mana mungkin ada maling ngaku... bakar saja biar mampus,” sela salah satu dari mereka dengan beringas.
Gelap. Dunia Alja semakin pekat, matanya tak mampu lagi untuk terbuka. Samar ia mendengar
teriakan orang-orang yang akan membakar dirinya. Kepasrahannya semakin
mendalam. Ngilu dan perih sudah ia abaikan. Di pelupuk matanya ia hadirkan sosok Ihsan
dan istrinya yang sedang
menunggunya di rumah dengan cemas. Air matanya deras.
“Maafkan Abiii, Ihsan... malam ini Abi tak bisa mengajakmu ke malam perayaan,” hatinya menjerit.
“Bakarr… Bakaar!!! Biar mampus!”
Suara-suara itu semakin beringas dan
tak terkendalikan. Alja pasrah. Berkali-kali ia memekikkan nama Tuhan, tapi suaranya
tak terdengar.
Bau bensin dan api mulai berkobar
membungkus tubuhnya. Panasnya melebihi apa pun. Ia merasakan tubuhnya semakin mati dan tak lagi berfungsi. Panas dari kaki hingga mendidih di otak.... Perlahan
sepasang mata yang tak bersalah itu tertutup rapat di antara tawa orang-orang
yang merasa puas telah melakukan kebenaran.
Bii, di malam perayaan nanti aku akan naik
kincir angin, kereta kuda. Membeli balon terbang, arumanis, tahu petis,
jenang........
Tak ada lagi. Kincir angin dan kereta
kuda itu hangus terbakar api.
***
Tidak ada komentar