MALAM INI AKU TAK PULANG, BU
Oleh: Adib Riyanto
Malam ini aku tak pulang, bu. Jangan mencariku
atau mencemaskanku. Aku sedang baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu sendiri sekarang.
Aku janji, ini tak akan lama, aku akan pulang setelah semuanya mereda. Jadi,
ibu tak perlu repot menelpon semua temanku untuk mengetahui keberadaanku,
karena ibu tentu tahu, aku tak mempunyai seorang teman pun kecuali seekor
kucing berkaki tiga yang kita temukan di tepi jalan beberapa tahun lalu.
Lagi pula siapa yang sudi berteman
denganku, bu? Sedangkan ibu tahu jika teman-teman sekelasku di sekolah, maksudku
anak-anak sekelas di sekolahku tak ada yang sudi berteman denganku. Mereka malu
mempunyai teman sepertiku, bu. Mereka bilang aku selalu menyusahkan mereka. Aku
hanya menjadi bahan lelucon mereka karena keadaanku.
Tak jarang mereka menjahiliku, mereka
sering menyembunyikan buku PR-ku saat jam istirahat, meneriakiku "si kaki
tiga, si pincang" dan kata-kata kasar lainnya, bahkan ada beberapa anak yang
meludahiku. Aku ingin sekali membalasnya, bu, jika tak mengingat nasehat ibu;
"kita harus sabar nak, karena Tuhan bersama orang-orang yang sabar."
Begitulah yang selalu ibu ucapkan, guru ngajiku juga bilang seperti itu.
Jika ibu berpikir aku sedang marah pada
ibu, maka ibu salah. Aku tidak sedang marah pada ibu. Mana mungkin aku marah
pada ibu, sedangkan ibu adalah malaikat tanpa sayap yang diciptakan Tuhan untuk
merawatku? Ibu adalah ibu terbaik di dunia ini. Ibu tak pernah malu dengan
keadaanku, ibu selalu membesarkan hatiku saat semua orang mengejekku dan
meneriakiku dengan kata-kata kasar yang seharusnya tak diucapkan kepada bocah
ingusan sepertiku.
Aku yakin jika semua ini bukan keinginan
ibu, lagi pula ibu mana yang mau memiliki anak cacat sepertiku? Aku kira tak
ada satu pun ibu di belahan bumi manapun ingin mempunyai anak sepertiku.
Ibu tentu-tadinya-ingin memiliki anak
yang sempurna seperti anak-anak yang lain, tapi malah anak sepertiku yang
terlahir dari rahim ibu. Nenek bilang ibu sempat tak mau melihatku ketika itu,
sesaat setelah ibu melahirkanku, ibu histeris dan tak mau mengakuiku sebagai
anak ibu tapi akhirnya nenek berhasil meyakinkan ibu jika aku adalah titipan Tuhan
yang harus disayangi dan dirawat sebaik-baiknya.
"Lihat saja pasangan-pasangan lain
di luar sana, mereka ada yang sudah menikah bertahun-tahun dan belum di beri
keturunan oleh Tuhan sampai sekarang tapi kamu malah tak mau mengakui darah
dagingmu sendiri." Ujar nenek pada ibu. Ibu terus-menerus menangis
mendengar perkataan nenek dan akhirnya ibu bisa menerima keadaanku dan
menyayangiku hingga kini.
Dulu aku sempat menanyakan pada ibu
perihal kaki kiriku yang tak tumbuh secara normal, dan harus berjalan dengan
sebuah tongkat yang harus kubawa kemana-mana, sedangkan anak-anak yang lain mempunyai
kaki normal dan mereka bisa berlari ke sana ke mari sesuka hati. Aku iri pada
mereka, bu, aku ingin marah pada diriku sendiri tapi ibu selalu bilang jika
kakiku-sebenarnya-disimpan oleh Tuhan di surga, dan aku harus bersikap baik di
dunia ini agar bisa mengambilnya di surga nanti. Aku selalu percaya dengan
ucapan ibu.
Barangkali ibu ingin tahu alasan kenapa
aku tak pulang malam ini. Jadi aku akan menceritakan semuanya pada ibu.
Malam ini, setelah aku pulang mengaji,
aku bertemu dengan rembulan yang kesepian. Ia duduk di tepi telaga. Wajahnya
yang sepenuhnya cahaya terlihat dingin. Aku yakin ia sedang sedih, entah
mengapa seolah aku bisa merasakannya, mungkin penulis cerita ini yang
memberitahukannya padaku seperti cerita-cerita pendek lainnya.
"Apakah kakak rembulan?" Aku
memberanikan diri untuk bertanya. Ia memicingkan mata dan tak berniat menjawab pertanyaanku.
Hanya diam. Aku melihat rembulan yang anggun tapi sedang murung. Mungkin
rembulan sedang datang bulan, lagi-lagi penulis cerita ini yang membisikiku seperti
itu.
Rambut panjangnya yang cahaya, dan semua
bagian tubuhnya yang juga sepenuhnya adalah cahaya memantul hangat di permukaan
telaga. Seperti sekumpulan kebahagiaan yang menyatu.
"Apakah kakak kesepian?"
Tanyaku lagi. Tapi ia tetap saja diam. "Aku juga, kak." Lanjutku
tanpa menunggu jawabannya, lantas mendekatinya dengan terpincang-pincang.
"Apa peduliku? Lagi pula kalian
sudah lama meninggalkanku." Tiba-tiba ia menjawabnya dengan ketus. Sorot
matanya yang lembut menatap tajam ke arahku. Seperti purnama empat belas.
"Kalian? Maksud kakak? Siapa yang
meninggalkan kakak? Apakah kakak sedang patah hati? Atau pacar kakak pergi
dengan wanita lain seperti dalam cerita-cerita fiksi?"
Ia menoleh dan melotot ke arahku.
Mungkin ia berpikir jika aku terlalu banyak bicara.
"Ya, kalian. Bocah-bocah dusun yang
meninggalkanku. Lihat saja, aku sudah mengenakan pakaian terbaikku tapi
kalian-bocah-bocah dusun-malah tak mau menemuiku, aku sering mengintip dari
celah-celah genting di rumah kalian. Kalian larut pada sekeping sesuatu yang
aku tak mengetahui namanya. Padahal dulu setiap aku mengenakan baju terbaikku
di hari ke empat belas, bapak ibu kalian yang ketika itu masih kencur beramai-ramai
bergegas menemuiku di tanah lapang dengan membawa obor. Mereka begitu girang, dan
meluapkan kebahagiaan dengan memainkan berbagai permainan. Setelah malam
semakin larut, mereka akan kembali ke rumah masing-masing dengan hati gembira
lantas mereka terlelap dan aku akan memeluk mereka dengan penuh cinta. Agaknya
kalian sudah memiliki rembulan di rumah
kalian masing-masing sekarang."
"Tapi tak semuanya seperti itu,
kak. Buktinya aku selalu menunggu kedatangan kakak. Aku selalu menunggu kakak
datang di beranda rumah, terkadang juga di balik jendela."
"Itu karena kau hanya seorang cacat,
dan tak ada yang mau berteman denganmu dan kau selalu kesepian." Agaknya
penulis cerita pendek ini terlalu banyak ikut campur dalam cerita ini sehingga
rembulan bisa tahu apa yang aku pikirkan.
Begitulah, bu, kami berbincang sepanjang
malam sehingga penulis cerita ini tak tahu harus bagaimana menuliskannya.
Jadi, Jangan mencariku atau mencemaskanku,
bu. Aku sedang baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu sendiri sekarang. Aku janji,
ini tak akan lama, aku akan pulang setelah semuanya mereda. Malam ini aku tak
pulang, bu. Aku menemani rembulan yang kesepian.
Juron, 27 Agustus 2017
Anggota Komunitas Kali Kening dan alumni KMI ASSALAM.
Kredit gambar: artZolo.com
Tidak ada komentar