Header Ads

Header ADS

ZUL DAN RUMPUT MERAK


Oleh: Ayra Izzana R



“Nak, jika kelak kamu dewasa nanti jangan pernah takut meraih suatu kebaikan karena ketiadaan harta. Karena suatu kebaikan itu tak memerlukan harta. Nak... jika suatu saat diantara aku dan bapakmu ini tidak ada, jangan pernah menyesali tentang adanya ketiadaan. Karena ketiadaan itu pasti. Berjanjilah bahwa kamu adalah anak yang berbakti.”
Semilir angin sore diantara rumput merak yang bunga-bunganya beterbangan, Zul duduk bersila menikmati angin yang menggelitiki tubuhnya. Matanya terpejam rapat dan bibirnya beberapa kali menyungging senyum. Suara-suara ibunya yang memantul mengobati kerinduan hatinya. Ia mencoba mendengarkan dengan baik-baik suara yang akan semakin melemah jika ia tak mengingat dengan baik pula setiap bait nasihat yang selalu dibisikkan ibunya menjelang tidurnya.
Merak-merak yang menjulang dan coklat karena kekeringan itu melambai-lambai mengelitik telinganya. Gema suara tawa terdengar di sela-sela hamparan rerumputan itu. Entah kenapa perasaan haru dan syahdu sore itu meliputi hatinya. Seketika pula Zul berdiri dan berlompatan. Ia berteriak meneriakkan namanya sendiri.
“Zung..... Zuung...Zung..”
Melengking dan meliuk-liuk.
Hening.
Tak seorang pun tampak. Rupanya sore hampir menghilang. Bayangannya sudah tampak panjang menjulang. Zul melihat sekitarnya. Hanya dirinya seorang yang masih mesra bersama rerumputan itu. Karung yang hanya terisi separuh rumput yang  membuat edaran pandangannya berakhir. Ia menurunkan nafas dan mengayunkan langkahnya tinggi-tinggi menghindari agar rumput-rumput itu tidak terinjak. Ia kembali menggumamkan namanya.
“Zung.. Zung..Zung..”
Lirih dan bersenandung.
Ah.. kerinduannya semakin melekat. Ketakutan akan bunyi suara itu tak lagi ia rasakan. Yang hadir kini hanyalah semerbak kerinduan yang selalu menghujam jiwanya.
Zul mengangkat karung itu dan bersiul-siul menapaki pematang sawah yang tandus dan kering. Tak sehelai rumputpun yang berwarna hijau. Bahkan di dalam karungnya pun. Semesta mulai gelap dan untuk terakhir kali ia memandangi rerumputan merak dari kejauhan seperti melambai-lambai ke arahnya.
Besok aku akan kembali
***
Serbuk-serbuk kayu kini menumpuk hingga beberapa karung di halaman rumahnya. Semakin sedikit orang yang menginginkannya. Tapi Zul tetap saja mengumpulkannya. Sudah beberapa kali juga bapaknya melarangnya untuk berhenti mengumpulkan serbuk-serbuk itu. Zul tetap gigih.
“Di musim penghujan sulit sekali mengumpulkan serbuk-serbuk ini, Pak... biarlah aku kumpulkan sebanyak-banyaknya.”
Semakin hari Zul semakin bijaksana, begitu mungkin yang ada di benak bapaknya. Zul tak pernah hilang akal untuk mengatasi kesepiannya. Meski ia tidak dapat bermain dengan teman-teman sebayanya, setiap hari banyak anak-anak yang berkumpul di rumahnya.
Musim layang-layang.
Zul membuatkan mereka layang-layang. Setiap hari mereka tiada bosan membuat berbagai bentuk layang-layang. Menggilas pecahan beling menjadi serbuk yang lembut diaduk dengan lem lalu dengan telaten Zul melapisi bermeter-meter benang dengan serbuk beling tersebut. Lalu keesokan harinya.
“Zul, aku menang menggilas layangannya si Amir. Senang sekali rasanya. Terima kasih ya, Zul. Benangnya benar-benar tajam.”
Bahagia tak terkira rasanya. Binar bahagia milik kawan-kawannya sedikit demi sedikit mengikis kesepiannya. Tapi tidak dengan rindunya. Ia selalu menagih kapan bapaknya akan mengajaknya ke makam Emak.
“Kapan kita jadi ke makam Emak, Pak?”
“Besok sore bisa, Zul”
Rasa rindu sudah diujung ubun-ubun. Besok Zul akan memetik bunga bougenville yang bermekaran di depan samping rumah.
“Jangan menangis lagi di makam emakmu lagi ya, Zul?”
Zul menggeleng pelan meski sebenarnya ia menangis bukan meratapi ataupun menyesali kepergian emaknya. Tapi entah kenapa air matanya tak dapat terbendung setiap melihat tanah makam Emak. Ia bahagia rindunya tercurah dan terlampiaskan.
“Tak sengaja, pak.”
“Ditahan, Cung. Tak baik nangis di makam.”
Zul terdiam dan tangannya masih saja menggerus-gerus pecahan beling. Matanya mulai berkaca-kaca. Rindunya semakin mengetuk-ngetuk dadanya yang kurus.
****
Zul berlarian menyusuri pematang. Ada yang membuat hatinya gundah saat pertama kali ia menapaki area persawahan itu.
Kenapa terlihat semakin gersang dan luas?
Ia cemas.
Ia berhenti tepat di mana ia menghabiskan sorenya.
Kemana rumput-rumput merak itu?
Ia terduduk lunglai. Tak ada sehelai pun rumput merak yang mengakar. Semua terlibas. Dari kejauhan ia melihat seorang yang berjalan terseok-seok mengangkat sebongkok rumput-rumput merak itu. ujung-ujung bunganya yang coklat melambai-lambai mengucapkan selamat tinggal. Zul tergugu. Rasanya ia ingin menangis. Rindunya mulai menyibak.
Ke mana lagi kudapatkan rumput merak itu?
Kebisingannya dengan rerumputan itu akan hilang. Suara angin yang membuat gaduh bunga-bunga merak itu tak akan lagi. Akhirnya Zul pulang dengan perasaan kecewa yang mendalam tanpa sehelai rumputpun yang ia dapatkan.
Kini setiap malam Zul selalu mengurai rindunya. Saat mata akan terpejam, nasehat demi nasehat yang ia ingat akan bergelantungan di kedua telinganya.
“Nak... bermurah hatilah meski tiada satu sen pun yang tak mampu kamu berikan.”
“Miskin itu bukan malapetaka atau musibah, Zul. Karena miskin itu tidak harus tak memiliki harta.”
“Jika suatu saat orang-orang lain lebih membutuhkanmu, relakanlah apa yang kamu cintai untuk mereka.”
“Zul,..............................”
Suara itu melemah dan pelan-pelan hilang bersamaan hilangnya kesadaran Zul yang telah terkulai indah di alam mimpi. Tubuh ringkih itu meringkuk memeluk kedua tangannya dengan sesekali menyungging senyum.

***

kredit gambar: http://www.pixoto.com/cc-line


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.