SEMUA INI KARENAMU
Oleh: Ayra Izzana R
Lama sekali aku mematut wajah di depan cermin. Sesekali aku
berdiri dan memutar-mutar tubuh. Lalu duduk dan memandangi wajahku dengan
lekat. Jerawat batu nyaris memenuhi wajah. Warna kulit yang sudah tak merata.
Terdapat flek hitam di mana-mana. Mataku berkabut. Terburu kuseka dan terpejam
mengingat akan cemohan yang setiap hari sangat mengiri-iris hati. Aku kembali
berdiri. Memandangi perutku yang makin longsor ke bawah dan melebar ke samping.
Jari-jari tanganku yang makin membulat. Lengan tanganku yang setiap hari
membutuhkan baju longgar dan setiap waktu ukuran bajuku yang semakin naik ke
atas.
Ah....
Aku menghela nafas dan berlalu dari cermin dengan cepat. Tak
seharusnya aku mendapatkan perlakuan seperti itu darimu.
Sekilas aku memandangi foto pengantin. Wajahku yang cantik
bersih dan tubuh yang aduhai. Betapa aku sangat merindukan sosok yang dulu.
Kemana tubuh langsing itu pergi, sehingga cemoohan demi cemoohan terhadap diriku datang
bertubi-tubi.
Tak sedikit pun aku menginginkan tubuhku semakmur ini. Bila
banyak orang di luar sana berkata bahwa istri yang gemuk adalah simbol
suksesnya seorang suami, ternyata itu tak berlaku bagiku. Omong kosong. Tubuh gemuk tidak pernah
membahagiakan perempuan. Tak pernah seperti itu.
Dulu kau tak mempermasalahkan jerawat yang subur tumbuh di
semua sisi mukaku. Kau menenangkanku bahwa itu adalah bawaan si jabang bayi.
Tapi sampai anak kita lahir jerawat itu pun masih setia menunggui parasku. Kau juga tak mempermasalahkan berapa bobot tubuhku.
Bahkan kau selalu menyuruhku makan apa saja agar bayi kita tak kelaparan. Tapi setelah anak kita besar dan kau menyibukkan diri dengan pekerjaan
barumu, kau mulai ribut dengan postur tubuh. Aku mulai tak terima dan akhirnya
kau pergi dengan murka.
Bahkan kini kepulanganmu
sudah tak dapat lagi dipastikan. Kukerjakan semua pekerjaan rumah sendiri meski
sebelumnya kaulah yang sering membantuku. Kita selesaikan pekerjaan rumah
bersama-sama tanpa mengeluh. Tapi setelah kau disibukkan dengan artis-artis
itu, aku selalu bersabar bahwa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan satu
anak yang manja sangatlah tak mudah.
Aku merasa bahwa kau sudah tak betah lagi berada di rumah
karena setiap kau pulang, kau mulai mengeluh dan protes dengan bentuk tubuhku
yang mulai sedikit demi sedikit menggelembung. Tapi mengertikah kau? Bahwa ini
di luar kendaliku. Bahkan dengan tega kau berucap:
“Melihatmu, aku kok mulai jijik, ya...”
Tanpa dosa kau ucapkan. Bahkan berlalu tanpa peduli bagaimana
hatiku yang bagimu tak sengaja kau remas-remas.
****
Malam itu kau pulang dengan membawa dua botol pil, lalu kau serahkan padaku. Sambil melipat baju-baju kuterima
pemberian itu dengan perasaan bingung.
“Pil apa ini, Bang....?”
“Minumlah.... biar tubuhmu tak sebongsor ini. Teman-teman
artis banyak yang berhasil karena pil ini.”
Sepanjang malam aku memandangi pil itu sambil terus berpikir apa yang membuatmu jadi sengotot ini.
Apa karena setiap hari kau bercengkerama dengan artis-artis kota, sehingga kau menuntutku seperti mereka? Atau mungkin
kau malu diejek kawan-kawanmu setelah membawaku bersamamu menghadiri resepsi
pernikahan salah satu kawanmu?.
Ah.... mungkinkah itu?
Atau mungkinkah satu di antara kawanmu berucap begini:
“Masa’ baru anak satu, postur emak-emaknya kok
sudah kebangetan!”
Aku ingin seperti yang kau inginkan tapi tidak dengan pil-pil
ini.
Akhirnya kusembunyikan pil-pil itu di laci lemari paling
bawah. Aku mulai mencari
info di internet cara-cara diet yang paling
efektif dan paling sehat. Setiap hari mulai kuatur pola makanku. Tapi di suatu hari kau berujar:
“Kok masih segini-segini saja?”
Aku lelah.
“Kau tak minum pil diet pemberianku itu?”
Aku diam. Lalu kau menghujatku bertubi-tubi.
Mulai terbayang di benakku kelak suatu hari kau berpaling
dariku. Dan aku pun merasa tak bisa kehilanganmu. Akhirnya kukonsumsi pil demi
pil pemberianmu itu. Aku ingin tubuh seperti dulu. Aku ingin secantik teman-teman artismu. Aku ingin kau tak dipermalukan lagi.
Hari demi hari reaksi dalam tubuhku mulai berubah. Aku mulai
tidak nafsu makan dan selalu merasa kenyang meski hanya memakan satu butir
buah. Pening di kepalaku hari demi hari sudah tak kupedulikan demi bentuk tubuh
yang kau inginkan. Demi senyummu untukku yang memuji keampuhan pil-pil diet
yang perlahan mengikis dagingku. Bukan senyum untuk memuji perubahan postur
tubuhku. Tak apalah.... yang penting tak kudapati lagi murkamu.
Tapi rasanya semua penghuni dalam tubuhku mulai meronta dan
berontak. Kurasakan isi perutku yang selalu mual-mual. Tulang pinggangku yang
sakitnya tak terkira. Jantungku yang selalu berdegup keras hingga membuat semua
gelas air minum jatuh berantakan satu persatu jika kusentuh. Isi kepalaku pun
seperti mau meledak setiap harinya. Dan kau tak pernah tahu.
Aku sudah merasa bahwa tubuhku ini sudah kering kerontang.
Dagingku malah mengeriput dan kau kembali panik.
“Kenapa jadi seperti ini?”
Aku diam dan menangis tertahan.
Sebenarnya tak ada gunanya bagiku memiliki
tubuh langsing seperti artis-artis kota yang kau idamkan. Tapi kau gelap
mata dan tak pernah menerima keadaanku. Kuhentikan minum pil-pil laknat itu. Tapi sudah terlambat.
Tubuhku makin hari makin mengering dan perutku perlahan mulai
membuncit hingga pada suatu hari dokter mengatakan bahwa tubuhku sudah tak bisa
menerima efek samping dari pil-pil yang kuminum. Dan kau tahu? Dokter
menyayangkan keputusanku mengonsumsi pil-pil ilegal itu.
Aku sudah lelah. Kubiarkan perutku yang terus membuncit
dengan dorongan rasa ngilu yang amat sakit menembus punggung, kaki serta
ubun-ubun. Aku merasa bahwa kau dengan sengaja pelan-pelan membunuhku. Apalagi
bila kudengar gelak tawamu di ponsel dengan teman-teman artismu setelah kau
pulang bekerja dan sama sekali tak mempedulikan kondisiku, yang menurut orang-orang terdekatku sangat mengenaskan. Aku masih bisa menghidangkan secangkir
kopi untukmu meski aku
hanya mendapat tatapan penuh ngeri darimu. Tak ada
senyum, tak ada pujian seperti dulu.
****
Aku sudah tak bisa bergerak. Kulihat orang-orang yang kukenal mengerubungiku. Mereka meratap dan menangisiku. Aku juga melihat anakku satu-satunya
meraung-raung.
Tubuhku kaku. Aku ingin bergerak tapi tidak bisa. Semua ini karenamu.
Aku bisa mendengar semuanya. Aku melihat orang-orang
yang mengasihiku menghujatmu.
“Kamu lelaki gila. Lelaki macam apa kamu ini?”
“Kamu membunuh istrimu pelan-pelan.”
Aku melihatmu hanya diam. Apakah kamu
bahagia sekarang.
Sidokumpul, 31 Januari 2018
12.02 WIB
Tidak ada komentar