Header Ads

Header ADS

SURAT CINTA UNTUK PRAM




Oleh: Linda Tria Sumarno
Pram....
(Biarlah aku hanya memanggilmu dengan nama, bukan karena aku tidak menghormatimu atau melecehkanmu, hanya biar tidak ada sekat dan rasa canggung di antara kita)
Jika kau tanya sejak kapan aku mulai menyukai karya-karyamu, aku hanya bisa menjawab sejak ada seseorang yang berbaik hati meminjamkan bukunya padaku. Dan entah apa judul bukunya, aku pun tak ingat. Karena yang aku ingat hingga hari ini adalah isi yang terkandung dari setiap tulisan yang kau lahirkan. Tulisan yang tertuang dari renungan panjangmu yang mampu membuat hatiku resah. Ya, setelah membaca kumpulan ceritamu memaksaku untuk berpikir ulang tentang kehidupan yang memang tidak hanya hitam dan putih. Kehidupan yang rela memakan kehidupan lain agar kehidupan itu sendiri tetap hidup dan berkuasa. Betapa dahsyatnya tulisanmu kala itu menghidupkan api dalam jiwaku. Api yang hingga kini menyala dan membakar dadaku. Ah, Kau Pram, betapa pemikiran-pemikiran yang kau tulis begitu membuatku gundah. Tak ada kata yang bisa aku ungkapkan kala itu kecuali betapa aku mengagumi karya-karyamu. Terlepas dari siapa engkau dan apapun yang menyertaimu.
Dan Kau tahu Pram....,
Setelahnya, ada rasa rindu yang begitu mendera untuk kembali bercumbu dan bergelut dengan tulisan-tulisanmu. Dan karena keterbatasan keuangan kala itu – karena seorang pelajar yang hidup jauh dari rumah, aku tidak bisa mengandalkan uang kiriman dari rumah untuk hidup, hingga aku harus berpikir keras untuk menyambung hidup, dan menulis jawabannya, ya aku mengisi kolom cerpen, puisi, artikel dan apa saja di majalah sekolahku dengan honor yang lumayan cukup untuk beli nasi dan teman-temannya. Untung aku bukan perempuan yang suka bersolek, Pram hingga tidak perlu repot-repot beli bedak- akhirnya aku hanya bisa menunggu orang yang kembali berbaik hati meminjamkan buku-buku karyamu padaku. Namun, tidak semua orang sudi melakukannya, karena banyak juga orang-orang yang lebih rela buku-bukunya berjajar rapi di rak mereka masing-masing daripada tersentuh oleh tangan lain yang diyakininya mampu merusak putih kertasnya.
Tapi sudahlah, dalam tulisanku kali ini aku tidak ingin bersedih dengan banyak hal yang adik kesayanganmu Lelananging Jagat menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan. Sesekali biarkanlah aku menulis kisah bahagiaku. Agar julukan yang diberikan oleh sahabatku Ikal Hidayat Noor sebagai Gadis Manis Penulis Kisah Tragis bisa sedikit terkikis. Menulis kisah bahagia yang menjadi babak baru dalam hidupku. Yang orang bijak sebut sebagai bab baru dalam buku kebijaksanaan atau adikmu Soesilo Toer bilang sebagai Persekutuan. Dan aku menyebutnya sama seperti yang orang awam bilang, Pernikahan.
Pram.....
Ada kisah yang menyertai pernikahanku yang menurut banyak orang unik atau mungkin juga tidak lazim. Karena ketika kebanyakan para gadis yang akan menikah akan meributkan banyaknya hantaran dan mewahnya mahar, tapi aku hanya mempunyai satu permintaan yang aku yakin hanya aku yang melakukannya di antara para gadis seangkatanku kala itu. Aku meminta mahar sebuah buku karyamu, Pram. Hanya sebuah. Buku yang berisi pemikiran-pemikiranmu. Yang aku yakini akan mampu membuatku bahagia melebihi kilaunya emas permata yang sedikitpun tidak menyilaukan mataku. Mungkin ketika kau mengetahuinya, kau akan tergelak dan mengatakan aku gila. Tapi kau tahu Pram, kegilaanku ini karena aku harus menjadi gila agar bisa menjadi waras.
Asal kau tahu, Pram, calon suamiku berbaik hati membawakanku dua buah buku, dari satu yang ku pinta. Sebuah karyamu Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia dan sebuah lagi karya Eka Kurniawan Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis yang mengupas tentang karya-karyamu. Ah, betapa bahagianya aku ketika mendengar itu. Satu keinginan dalam hidupku dapat terpenuhi.
Namun Pram....
Ada rasa sedih ketika permintaanku itu ditolak oleh Penghulu yang akan menikahkanku. Entah apa yang ada di pikiran bapak Penghulu itu, yang pasti kau dianggap berbahaya Pram. Lebih berbahaya dari seribu moncong senapan. Setelah berdebat denganku dan belakangan baru aku tahu, sahabatku Rohmat Solihin kala itu yang tahu tentang mahar pernikahanku (entah dari mana ia tahu) juga turut memberi wawasan kepada bapak Penghulu terkait jejakmu, akhirnya beliau mengijinkan buku itu tetap diberikan padaku di hari bahagiaku, namun dengan didampingi oleh seperangkat alat sholat. Ah, sedemikian hebatkah orang-orang berdasi itu menanamkan doktrinnya tentangmu, Pram. Hingga di pelosok desa seperti ini masih juga kau dianggap bahaya laten.
Sudahlah Pram, yang pasti bagiku dan mungkin juga bagi kebanyakan orang, kau telah mengajari dan membuka mata kami tentang apa itu kehidupan, tentang apa itu kesenangan yang sesungguhnya dan kesedihan yang sebenarnya.
Akhirnya, banyak kasih dan banyak cinta untukmu di sana. Semoga Sang Maha Bijak menempatkanmu di tempat terbaikNya. Benar katamu, meski kau telah pergi begitu lama, namun kau akan tetap dikenang oleh jaman, karena memang kaulah anak jaman yang akan terus hidup dan hidup di hati kami.
Aku cukupkan dulu surat cintaku ini, Pram. Salam hangat dan bahagia dari Bumi Bangilan,  Bumi Indonesia, Bumi Manusia.
Tabik.

Dari aku yang menghormatimu.
(LTS)

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.